Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkanmu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.(QS. 3:118). Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukaimu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpaimu, mereka berkata: ‘Kami beriman.’; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadapmu. Katakanlah (kepada mereka): ‘Matilah kamu karena kemarahanmu itu.’ Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (QS. 3:119). Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. 3:120)
Allah Tabaaraka wa Ta’aala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan orang-orang munafik sebagai teman kepercayaan. Yakni mereka akan membukakan rahasia dan segala yang tersembunyi untuk musuh orang-orang Islam. Dan orang-orang munafik itu, dengan segenap daya dan kekuatannya, tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagi orang-orang yang beriman. Yakni selalu berusaha keras untuk menyelisihi dan menjerumuskan mereka ke dalam bahaya dengan segala cara, serta melakukan berbagai tipu muslihat yang dapat dilakukan. Mereka juga menyukai hal-hal yang dapat menyulitkan, melukai danmenyusahkan orang-orang yang beriman.
Dan firman-Nya, laa tattakhidzuu bithaanatam min duunikum (“Janganlah kamu mengambil orang-orang yang berada di luar kalanganmu menjadi teman kepercayaanmu.”) Yakni orang-orang yang bukan golongan kalian dari pemeluk agama lain. “Bithaanatan” berarti orang dekat yang dapat mengetahui urusan dalam.
Al-Bukhari, an-Nasa’i dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah bersabda: “Allah tidak mengutus seorang Nabi dan tidak juga mengangkat seorang khalifah pun melainkan ia memiliki dua orang kepercayaan (orang terdekat); yang pertama menyuruh dan menekankan untuk berbuat kebaikan. Dan yang lainnya menyuruh dan menekankan untuk berbuat kejahatan. Hanya orang yang dipelihara Allah sajalah yang selalu terhindar (dari kesalahan dan dosa).” (HR. Al-Bukhari dan an-Nasa’i).
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abid Dahqanah, ia berkata, pernah dikatakan kepada ‘Umar bin al-Khaththab: “Di sini ada seorang pemuda dari penduduk Hirah yang cakap menghafal dan menulis. Jika saja engkau berkenan menjadikannya sebagai juru tulis (sekretaris).” Maka ‘Umar menjawab: “Jika demikian berarti aku telah mengambil orang kepercayaan (bithaanah) dari kalangan orang-orang non-muslim.”
Dalam ayat dan atsar di atas terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ahludz dzimmah (orang-orang non-muslim yang hidup di bawah kekuasaan orang muslim) tidak boleh dipakai sebagai juru tulis, yang dapat menimbulkan keangkuhan terhadap kaum muslimin dan mengetahui urusan-urusan intern yang dikhawatirkan akan dibocorkan kepada musuh ahlul-harb (orang-orang yang wajib diperangi).
Oleh karena itu, Allah Tabaaraka wa Ta’aala berfirman, laa ya’luunakum khabaalaw wad duu maa ‘anittum (“Mereka tidak henti-hentinya [menimbulkan] kemudharatan bagimu dan menyukai apa yang menyusahkanmu.”)
Al-Hafizh Abu Ya’la mengatakan dari al-Azhar bin Rasyid, ia berkata: “Mereka mendatangi Anas bin Malik, apabila ia menceritakan suatu hadits yang tidak mereka fahami, maka mereka mendatangi al-Hasan al-Bashri, lalu al-Hasan al-Bashri pun menafsirkannya untuk mereka.” Pada suatu hari Anas menceritakan kepada mereka sebuah hadits dari Nabi, beliau bersabda: “Janganlah kalian menggunakan penerangan dengan api orang-orang musyrik, dan jangan pula kalian mengukir pada cincin kalian tulisan Arab.”
Mereka tidak mengerti apa makna hadits tersebut. Kemudian mereka mendatangi al-Hasan al-Bashri seraya mengatakan: “Sesungguhnya Anas bin Malik ra. menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah bersabda: ‘Janganlah kalian menggunakan penerangan dengan api orang-orang musyrik, dan jangan pula kalian mengukir pada cincin kalian tulisan Arab.’ Maka al-Hasan al-Bashri berkata mengenai sabdanya: “Janganlah kalian mengukir pada cincin tulisan Arab,” adalah (tulisan) Muhammad.” Adapun sabdanya: “Janganlah kalian menggunakan penerangan dengan api orang-orang musyrik,” adalah, janganlah kalian meminta pendapat kepada orang-orang musyrik dalam urusan kalian.”
Lebih lanjut al-Hasan al-Bashri berkata: “Penetapan tersebut berdasarkan firman Allah swt, laa tattakhidzuu bithaanatam min duunikum (“Janganlah kamu mengambil orang-orang yang berada di luar kalanganmu menjadi teman kepercayaanmu.”)
Demikianlah yang diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Ya’la; Hal ini juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari Mujahid bin Musa, dari Husyaim. Dan juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Husyaim dengan isnad yang sama, tanpa menyebutkan penafsiran al-Hasan al-Bashri.
Penafsiran tersebut perlu ditinjau kembali, sebab maknanya sudah jelas: “Janganlah kamu mengukir tulisan Arab pada cincinmu.” Maksudnya yaitu dengan tulisan Arab, agar tidak menyerupai ukiran cincin Nabi saw, karena ukiran pada cincin beliau tertera (tulisan) Muhammad Rasulullah. Oleh karena itu dalam hadits shahih ditegaskan, bahwa beliau melarang seseorang untuk mengukir cincinnya sama seperti ukiran pada cincin beliau.
Sedangkan makna “menggunakan penerangan dengan api orang-orang musyrik” adalah, janganlah kamu berdekatan dengan mereka dalam tempat tinggal di mana kamu berada bersama mereka di negeri mereka, tetapi jauhilah mereka dan berhijrahlah dari negeri mereka. Oleh karena itu diriwayatkan oleh Abu Dawud: “Tidak boleh api keduanya (orang muslim dan orang kafir) saling terlihat.” Dan dalam hadits lain disebutkan: “Barangsiapa menyatu dengan orang musyrik atau tinggal bersamanya, maka ia seperti orang musyrik tersebut.” Maka, memahami makna hadits tersebut seperti apa yang dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri dan menggunakan dalil dengan ayat di atas untuk menguatkan perkataannya, masih perlu ditinjau. Wallahu a’lam.
Kemudian Allah berfirman, qad badatil bagh-dlaa-u min afwaa HiHim wa maa tukhfii shuduuruHum akbar (“Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi.”) Maksudnya, telah nyata benar pada raut wajah mereka. Lontaran ucapan mereka dan sikap permusuhan yang disertai dengan kebencian dalam hati mereka terhadap Islam dan para pemeluknya, adalah sesuatu yang tampak jelas bagi orang-orang yang berakal.
Oleh karena itu Allah swt. berfirman, qad bayyannaa lakumul aayaati in kuntum ta’qiluun (“Sungguh Kami telah menerangkan kepadamu ayat-ayat [Kami], jika kamu memahaminya.”)
Dan firman-Nya, Haa antum ulaa-i tuhibbuunaHum wa laa yuhibbuunakum (“Begitulah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukaimu.”) Artinya, wahai sekalian orang-orang yang beriman, kalian mencintai orang-orang munafik karena keimanan yang diperlihatkan kepada kalian, padahal mereka tidak mencintai kalian, baik lahir maupun bathin.
Firman-Nya, wa tu’minuuna bil kitaabi kulliHi (“Dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya.”) Yakni, kalian tidak mempunyai keraguan sedikitpun terhadap kitab itu, sedangkan mereka masih ragu, bimbang dan bingung.
Mengenai firman-Nya: wa tu’minuuna bil kitaabi kulliHi (“Dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya.”) Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Maksud ayat itu adalah, beriman kepada Kitab kalian dan kitab mereka serta kitab-kitab yang turun sebelumnya, sedang mereka mengingkari kitab kalian. Oleh karena itu kalian lebih berhak benci kepada mereka daripada mereka membenci kalian.” Demikian diriwayatkan Ibnu Jarir.
Dan firman-Nya, wa idzaa laquukum qaaluu aamannaa wa idzaa khalaw ‘adl-dluu ‘alaikumul anaamila minal ghaiidh (“Apabila menjumpaimu, mereka berkata: ‘Kami beriman.’ Dan apabila menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci kepadamu.”) Menurut Qatadah berarti ujung jari. Seorang penyair mengatakan: “Dan apa yang dibawa oleh kedua telapakku, berupa sepuluh ujung jari.”
Ibnu Mas’ud, as-Suddi, dan ar-Rabi’ bin Anas berkata, “al anaamila” berarti jari-jemari. Inilah keadaan orang-orang munafik, mereka memperlihatkan keimanan dan kecintaan kepada orang-orang yang beriman, padahal keadaan (hati mereka) sebenarnya bertentangan dengan hal itu. Sebagaimana firman Allah: idzaa khalaw ‘adl-dluu ‘alaikumul anaamila minal ghaiidh (“Apabila menjumpaimu, mereka berkata: ‘Kami beriman.’ Dan apabila menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci kepadamu.”) Dan itu merupakan kebencian dan kemarahan yang teramat sangat.
Allah berfirman: qul muutuu bighaidhikum innallaaHa ‘aliimum bidzaatsish shuduur (“Katakanlah kepada mereka: ‘Matilah kamu karena kemarahanmu itu.’ Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.”) Artinya apapun yang kamu merasa dengki terhadap orang-orang yang beriman dan hal itu membuatmu marah dan benci terhadap orang beriman, maka ketahuilah bahwa Allah pasti menyempurnakan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, menyempurnakan agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya, serta memenangkan agama-Nya. Oleh karena itu, matilah kamu semua dengan kemarahanmu itu; innallaaHa ‘aliimum bidzaatsish shuduur (“sungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.”) Yakni, Allah Mahamengetahui apa yang disembunyikan oleh hatimu dan disimpan oleh bathinmu, berupa kemarahan kedengkian dan iri hati terhadap orang-orang yang beriman. Dan Allah akan memberikan balasan kepadamu atas tindakan tersebut di dunia dengan memperlihatkan kepadamu kebalikan dari apa yang kamu idam-idamkan. Sedangkan di akhirat kelak akan di adzab di Neraka dengan adzab yang sangat pedih. Kamu akan kekal di dalamnya dan tidak akan terbebas ataupun keluar darinya.
Selanjutnya Allah berfirman: in tamsaskum hasanatun tasu’Hum wa in tushibkum sayyi-atun yafrahuu biHaa (“Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati. Tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya.” ) Keadaan ini menunjukkan kerasnya permusuhan mereka terhadap orang-orang beriman. Yaitu, ketika orang-orang beriman mendapatkan kebahagiaan, kemenangan dan dukungan, serta bertambah banyak dan semakin kuat para pendukungnya, maka orang-orang munafik itu bersedih hati. Dan jika kaum muslimin tertimpa kesulitan atau menderita kekalahan dari musuh-musuhnya, berupa kekalahan karena suatu hikmah yang dikehendaki Allah, sebagaimana yang terjadi pada perang Uhud, maka orang-orang munafik itu bergembira ria dan bersuka cita.
Selanjutnya Allah berfirman, ditujukan kepada orang-orang beriman: wa in tashbiruu wa tattaquu laa yadlurrukum kaiduHum syaian (“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan mudharat bagimu.”) Yakni, Allah membimbing mereka menuju keselamatan dari kejahatan para penjahat dan tipu daya para pendurhaka itu, dengan menggunakan kesabaran, ketakwaan dan tawakkal kepada-Nya, sebab Allah-lah yang meliputi semua musuh-musuh mereka dan tiada daya dan kekuatan bagi mereka kecuali dengan pertolongan-Nya. Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan pemah terjadi. Dan tidak terjadi di dalam wujud sesuatupun, melainkan dengan takdir dan kehendak-Nya, barangsiapa bertawakkal kepada-Nya, maka Allah-lah yang mencukupkannya.
EmoticonEmoticon