Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 121-123

Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 121-123Selanjutnya Allah menjelaskan penyebutan kisah perang Uhud, di mana di dalamnya terkandung ujian bagi kaum mukminin dan pembeda antara orang-orang yang beriman dan orang-orang munafik serta bukti kesabarannya orang-orang yang bersabar, seraya Allah berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan orang-orang yang beriman pada beberapa posisi untuk berperang. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui, (QS. 3:121). Ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. (QS. 3:122). Sungguh Allah telah menolongmu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah [ketika itu] orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukurinya.” (QS 3: 123)
Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan peristiwa tersebut adalah perang Uhud. Demikian dikatakan oleh Ibnu Abbas, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, as-Suddi dan yang lainnya. Peristiwa itu terjadi pada hari sabtu, bulan Syawal pada tahun ke 3 Hijrah.
Qatadah berkata, “Terjadi pada tanggal 11 bulan Syawal.” Sedang ‘Ikrimah berkata, “Terjadi pada hari Sabtu, pertengahan bulan syawal.” WallaaHu a’lam.
Sebab terjadinya perang Uhud ini karena orang-orang Musyrik bermaksud menuntut balas atas terbunuhnya pemuka-pemuka mereka pada perang Badar. Di perang Badar tersebut dapat diselamatkan unta-unta yang membawa barang dagangan yang ada bersama Abu Sufyan.
Anak-anak yang ayahnya terbunuh dan para pemimpin mereka yang tersisa berkata kepada Abu Sufyan: “Sediakan harta ini untuk memerangi Muhammad.” Mereka pun membelanjakannya untuk tujuan itu. Kemudian mereka merekrut orang-orang, termasuk utusan dari setiap kabilah, hingga mencapai tiga ribu orang. Selanjutnya mereka berangkat dan singgah di dekat Uhud, sisi kota Madinah.
Ketika Rasulullah saw. selesai menunaikan shalat Jum’at, beliau menshalatkan jenazah seseorang dari bani Najjar yang bernama Malik bin ‘Amr. Selanjutnya beliau mengajak orang-orang untuk bermusyawarah seraya bertanya: “Apakah harus pergi menghadapi mereka atau di tetap tinggal di Madinah.”
Abdullah bin Ubay menyarankan agar tetap tinggal di Madinah. Jika orang-orang kafir tetap berada di tempat mereka, maka mereka berada di tempat pemberhentian yang amat buruk. Tetapi jika mereka memasuki kota Madinah, maka akan diperangi oleh kaum lelaki dari depan, dilempari oleh kaum wanita dan anak-anak dari atas. Sedangkan jika pulang, maka mereka akan pulang dengan kegagalan.
Sedangkan para shahabat yang tidak ikut perang Badar, menyarankan agar berangkat untuk menghadapi mereka. kemudian beliau masuk dan mengenakan pakaian perangnya, lalu keluar untuk menemui para shahabatnya. Namun sebagian mereka yang menyarankan untuk menyongsong musuh merasa menyesal dengan usulan itu, mereka mengatakan, “Sepertinya kita selalu memaksa Rasulullah saw.” mereka pun berkata, “Ya Rasulallah, jika engkau berkenan, lebih baik kita tetap tinggal di Madinah.” Maka beliau pun bersabda, “Tidak layak bagi seorang Nabi yang telah mengenakan pakaian besinya untuk kembali, sampai Allah memberikan keputusan kepadanya.”
Maka beliau berangkat bersama 1000 orang Sahabat. Ketika mereka sampai di batas kota, ‘Abdullah bin Ubay -tokoh kaum munafik- membawa pulang sepertiga pasukan dalam keadan marah, karena pendapatnya tidak dipakai. Lalu bersama-sama komplotannya ia mengatakan: “Seandainya hari ini kami menyaksikan pertempuran, pasti kami akan bergabung dengan kalian,
namun kami tidak melihat kalian berperang.”
Rasulullah terus melanjutkan perjalanannya hingga menempati salah satu bukit pada gunung Uhud di tepi lembah, dengan posisi membelakangi pasukan dan gunung Uhud, beliau pun bersabda, “Jangan sekali-kali melakukan penyerangan sebelum kami perintahkan.”
Bersama 700 (tujuh ratus) orang Sahabatnya, Rasulullah siap berperang. Beliau mengangkat ‘Abdullah bin Jubair, saudara Bani ‘Amr bin `Auf, untuk memimpin pasukan pemanah. Pasukan pemanah pada saat itu berjumlah lima puluh orang. Beliau menyampaikan pesan kepada mereka: “Hujanilah pasukan berkuda musuh dengan panah untuk melindungi kami dan jangan sampai kami diserang dari arah depan kalian. Tetaplah kalian pada posisi kalian, bagaimana pun kondisi yang kita hadapi; menang atau kalah, sekalipun kalian menyaksikan kami disambar burung, maka jangan sekali-kali kalian meninggalkan posisi kalian.”
Kemudian beliau merapatkan antara dua baju besi pasukan (barisan) dan menyerahkan panji kepada Mush’ab bin `Umair, saudara Bani ‘Abdud Daar. Pada saat itu, beliau juga memperkenankan sebagian anak-anak muda untuk ikut berjihad di Uhud dan sebagian yang lainnya baru beliau izinkan untuk ikut berjihad pada perang Khandaq, yang terjadi kurang lebih dua tahun setelah peristiwa Uhud. Sedangkan kaum Quraisy telah mempersiapkan 3000 (tiga ribu) pasukan yang dilengkapi dengan seratus pasukan berkuda yang telah disiagakan di sebelah kanan di bawah komando Khalid bin al-Walid, sedangkan di sebelah kiri di bawah komando ‘Ikrimah bin Abu Jahal. Mereka menyerahkan panji pasukan kepada Bani ‘Abdud Daar.
Antara dua pasukan terjadi perang sengit yang rincinya akan diuraikan pada tempatnya, insya Allah.
Oleh karena itu, Allah berfirman: wa idz ghadauta min aHlika tubawwi-ul mu’miniina maqaa-‘ida lil qitaal (“Dan ingatlah ketika kamu berangkat pada pagi hari dari rumah keluargamu akan menempatkan orang-orang yang beriman pada beberapa posisi untuk berperang.”) Yakni menempatkan mereka pada posisi mereka masing-masing, di sebelah kanan dan sebelah kiri gunung, dan posisi-posisi lain yang telah engkau (Muhammad) perintahkan, wallaaHu samii’un ‘aliim (“Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui,”) Allah Mahamendengar apa yang kamu katakan, dan Mahamengetahui apa yang ada di dalam hatimu.
Dalam hal ini, Ibnu Jarir memunculkan suatu pertanyaan: “Bagaimana kamu mengatakan bahwa Nabi pergi ke Uhud pada hari Jum’at seusai mengerjakan shalat Jum’at?” Padahal Allah berfirman, wa idz ghadauta min aHlika tubawwi-ul mu’miniina maqaa-‘ida lil qitaal (“Dan ingatlah ketika kamu berangkat pada pagi hari dari rumah keluargamu akan menempatkan orang-orang yang beriman pada beberapa posisi untuk berperang.”) untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu disampaikan bahwa kepergian beliau pada pagi hari untuk menetapkan posisi-posisi mereka, tiada lain adalah pada Sabtu pagi.
Sedangkan firman-Nya: idz Hammat thaa-ifataani minkum an taf-syalaa (“Ketika dua golongan dari padamu ingin [mundur] karena takut.”) al-Bukhari meriwayatkan dari Ali bin Abdillah, Sufyan telah bercerita kepada kami, ia berkata bahwa ‘Umar berkata, aku pernah mendengar Jabir bin Abdillah mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan kami. Kami terdiri dari dua golongan yakni golongan bani Haritsah dan golongan bani Salamah. Kami tidak senang [di saat lain Sufyan mengatakan] dan tidaklah menggembirakan bila ayat ini tidak turun, karena firman-Nya [selanjutnya disebutkan]: wallaaHu waliyyuHumaa (“Padahal Allah adalah penolong dari kedua golongan itu.”)
Demikian pula diriwayatkan oleh Muslim dari Sufyan bin ‘Uyainah. Juga menurut pendapat para ulama salaf bahwa mereka adalah bani Haritsah dan bani Salamh.
Firman-Nya: wa laqad nashara kumullaaHu bibad-rin (“Sungguh Allah telah menolongmu dalam perang Badar”) yakni peristiwa perang Badar yang terjadi pada hari Jum’at bertepatan dengan tanggal 17 Ramadlan tahun ke 2 Hijriyah. Itulah hari al-Furqaan [perbedaan antara kebenaran dan kebathilan] yang di dalamnya Allah memenangkan Islam dan kaum Muslimin. Serta memusnahkan kemusyrikan dan pusatnya serta golongannya, meskipun golongan kaum muslimin sedikit sekali yaitu 313 orang saja. mereka hanya dilengkapi dua ekor kuda dan 70 unta, sedangkan sisanya berjalan kaki tanpa dilengkapi perlengkapan yang memadai.
Sedangkan musuh pada waktu itu berjumlah 900 sampai 1000 orang yang dilengkapi dengan baju besi, topi baja, peralatan perang yang lengkap, pasukan kuda yang lengkap, serta perhiasan. Namun demikian Allah memenangkan Rasul-Nya dan mengunggulkan wahyu-Nya, serta mencerahkan wajah Nabi-Nya dan pasukannya. Di sisi lain Allah menghinakan syaitan dan para pengikutnya.
Oleh karena itu Allah berfirman dengan menyebutkan karunia-Nya bagi hamba-Nya dan para pendukungnya yang bertakwa. wa laqad nashara kumullaaHu bibad-rin wa antum adzillatun (“Sungguh Allah telah menolongmu dalam perang Badar, padahal kamu [ketika itu] adalah orang yang lemah.”) yakni jumlah kalian yang sangat sedikit, agar kalian mengetahui bahwa kemenangan itu adalah berasal dari sisi Allah, bukan karena banyaknya jumlah dan perlengkapan.
Oleh karena itu dalam surat yang lain Allah berfirman yang artinya:
“Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kmudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah Mahapengampun lagi Maha-penyayang.” (QS. At-Taubah: 25-27).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Samak, ia berkata, aku pernah mendengar `Iyadh al-Asy’ari berkata, aku pernah mengikuti perang Yarmuk. Bersama kami terdapat lima panglima; Abu `Ubaidah, Yazid bin Abi Sufyan, Ibnu Hasanah, Khalid bin al-Walid, dan `Iyadh [bukan Iyadh yang memberitakan hadits ini kepada Samak]. ‘Umar berkata: “Jika berperang, maka sebagai pemimpin kalian adalah Abu `Ubaidah. Kami pun segera mengirim surat kepadanya memberitahukan bahwa kematian telah menghantui kami dan kami meminta bantuan kepadanya. Maka Abu `Ubaidah pun membalas surat kami itu seraya mengatakan: `Surat kalian yang meminta bantuanku telah sampai ke tanganku. Dan aku ingin menunjukkan kepada kalian siapa yang lebih besar pertolongannya dan memiliki pasukan tentara yang tangguh, itulah Allah. Mohonlah pertolongan kepada-Nya, karena sesungguhnya Nabi Muhammad pernah ditolong-Nya pada waktu perang Badar, padahal jumlah pasukan beliau lebih sedikit dari kalian. Jika suratku telah sampai di tangan kalian, maka seranglah mereka dan jangan kembali kepadaku.”‘
Lebih lanjut `Iyadh menceritakan: “Maka kami pun segera menyerang mereka hingga akhirnya kami berhasil memukul mundur mereka sejauh empat farsakh [1 farsakh: 8 km]. Kemudian kami mendapatkan harta rampasan perang, lalu kami bermusyawarah, hingga akhirnya `Iyadh menyarankan kepada kami agar kami memberikan sepuluh bagian kepada setiap pemimpin suku. Sedang Abu `Ubaidah berkata: `Siapakah yang mau bertanding denganku?’ Seorang pemuda menjawab: `Aku, jika engkau tidak marah.’ Temyata pemuda itu berhasil mengalahkannya, dan aku melihat kedua kepang rambut Abu `Ubaidah kusut, sedang Abu `Ubaidah berada di belakang pemuda itu, di atas kuda seorang badui”. Isnad hadits ini shahih.
Hadits senada juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya dari Bandar dari Ghandar.
Badar adalah suatu tempat yang terletak di antara Makkah dan Madinah yang dikenal dengan sumurnya. Nama Badar itu dinisbatkan kepada penggali sumur itu, yaitu Badar bin Narin. Asy-Sya’bi berkata: “Badar adalah sebuah sumur milik seorang yang bernama Badar.”
Dan firman-Nya, fattaqullaaHa la’allakum tasykuruun (“Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya”) yakni, agar kalian melaksanakan ketaatan kepada-Nya.


EmoticonEmoticon