Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 144-148

Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 144-148“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS.3:144) Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepada-nya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. 3:145) Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Merekatidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka dijalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. 3:146) Tidak ada do’a mereka selain ucapan: “Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami, dan tetapkanlah pendirian kami,dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. 3:147) Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. 3:148)
Setelah kaum muslimin mengalami kekalahan dalam perang Uhud dan adanya beberapa orang dari mereka yang terbunuh, syaitan berseru: “Ketahuilah, bahwa Muhammad telah terbunuh.” Ibnu Qami-ah kembali menemui orang-orang musyrik seraya berkata: “Aku telah berhasil membunuh Muhammad.” Padahal sebenarnya ia hanya memukul Rasulullah dan sedikit terluka di kepalanya. Peristiwa itu sempat menggoncangkan hati banyak orang dan bahkan mereka berkeyakinan bahwa Rasulullah telah terbunuh. Dalam keadaan seperti itu mereka beranggapan mungkin saja hal itu terjadi pada Rasulullah sebagaimana Allah telah menceritakan ihwal para Nabi yang terdahulu sehingga hal itu mengakibatkan terjadinya kelemahan, ketakutan dan keengganan melanjutkan perang. Pada saat itulah Allah menurunkan firman-Nya: wa maa Muhammadun illaa rasuulun qad khalat min qab-liHir rusulu (“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul.”) Artinya, Nabi Muhammad mengikuti contoh para Nabi dalam kerasulan dan ke-mungkinan terbunuh.
Ibnu Abi Najih berkata dari ayahnya, ada seseorang dari kaum Muhajirin yang telah lewat di hadapan seorang dari kaum Anshar yang bersimbah darah. Lalu ditanyakan kepadanya: “Hai fulan, apakah kamu merasa Rasulullah telah terbunuh?” Orang Anshar itu menjawab: “Jika Muhammad telah terbunuh, berarti ia telah menyampaikan risalahnya. Maka berperanglah kalian demi membela agama kalian.” Lalu turunlah ayat, wa maa Muhammadun illaa rasuulun qad khalat min qab-liHir rusulu (“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul.”)
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi dalam kitab “Dalaa-ilun Nubuwwah.”
Kemudian Allah swt. berfirman mengingkari orang-orang yang terpengaruh sehingga menjadi lemah. Afa im maata au qutilanqalabtum ‘alaa a’qaabikum (“[Apakah] jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang [murtad]?”) Artinya, kalian akan mundur kebelakang. Wa may yanqalibu ‘alaa ‘aqibaiHi falay yadlurrullaaHa syai-aw wa sayaj-zillaaHusy syaakiriin (“Barangsiapa yang berbalik ke belakang maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun. Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”) Yakni, orang-orang yang teguh dalam menjalankan ketaatan dan berperang untuk membela agama-Nya serta mengikuti Rasul-Nya, baik di saat beliau masih hidup maupun setelah wafat.
Hal itu telah ditegaskan dalam beberapa kitab shahih, musnad maupuns unan serta buku-buku Islam lainnya melalui sumber yang berbeda-beda, yang kesemuanya menunjukkan kebenaran informasinya. Hal itu juga disebutkan dalam Musnad Abu Bakar ash-Shiddiq dan ‘Umar bin al-Khaththab bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq membaca ayat ini ketika Rasulullah meninggal dunia.
Imam al-Bukhari meriwayatkan, bahwa ‘Aisyah ra. memberitahukan, Abu Bakar bertolak dengan cepat, ia mengendarai kuda dari tempat tinggalnya hingga akhirnya sampai dan ia pun masuk masjid. Ia tidak berbicara dengan seorang pun hingga ia masuk menemui ‘Aisyah. Lalu Abu Bakar menuju jenazah Rasulullah yang masih dalam keadaan di tutup kain berwarna hitam. Kemudian ia menyingkap kain dari wajah beliau, lalu menundukkan wajahnya dan menciuminya, ia pun menangis seraya berkata, “Demi ayah dan ibuku. Demi Allah, Allah tidak akan menyatukan dua kematian pada dirimu. Adapun kematian yang telah ditetapkan bagimu telah engkau jalani.”
Az-Zuhri berkata, Abu Salamah telah menceritakan kepadaku dari Ibnu ‘Abbas bahwa Abu Bakar keluar, sementara ‘Umar sedang berbicara kepada khalayak. Kemudian Abu Bakar berkata: “Duduklah, wahai ‘Umar.” Lalu Abu Bakar berkata: “Amma Ba’du. Barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa menyembah Allah, maka Allah itu senantiasa hidup dan tidak akan pernah mati.”
Selanjutnya Abu Bakar menegaskan bahwa Allah berfirman: wa maa Muhammadun illaa rasuulun qad khalat min qab-liHir rusulu Wa may yanqalibu ‘alaa ‘aqibaiHi falay yadlurrullaaHa syai-aw wa sayaj-zillaaHusy syaakiriin (“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh telah berlalu se-belumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika is wafat atau dibunuh, kamu ber-balik ke belakang [murtad]? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun. Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”)
Az-Zuhri berkata: “Demi Allah, seolah-olah orang-orang tidak mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat ini sehingga Abu Bakar membacakannya kepada mereka. Maka orang-orang pun membaca ayat ini dari Abu Bakar. Sehingga setiap orang mendengar membaca ayat ini.
Sa’id bin al-Musayyab juga pernah memberitahukan kepadaku bahwaUmar bin al-Khaththab berkata (ketika Rasulullah wafat): “Demi Allah, tidaklah hal itu terjadi, melainkan setelah aku mendengar Abu Bakar, maka aku pun berdiri terpaku sehingga kedua kakiku lemas, dan akhirnya aku jatuh ke tanah.”
Firman Allah: wa maa kaana linafsin an tamuuta illaa bi-idznillaaHi kitaabam mu-ajjalan (“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.”) Artinya, tidak ada seorang pun di dunia ini yang meninggal dunia melainkan menurut takdir Allah dan sampai ia memenuhi waktu yang telah ditetapkan Allah Ta’ala baginya.
Oleh karena itu, Allah berfirman: kitaabam muajjalan (“Sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.”) Ayat ini memberikan motivasi bagi para pengecut dan dorongan bagi mereka untuk berperang, karena maju berperang atau mundur darinya tidak akan mengurangi atau menambah umur. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari Habib bin Zhabiyan, ia berkata, ada seorang muslim, yaitu Hujr bin ‘Adi berkata: “Apa yang menghalangi kalian untuk menyeberangi sungai Tigris ini untuk menemui musuh-musuh itu. Tidaklah jiwa seseorang itu mati kecuali dengan seizin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” Setelah itu, ia langsung menepuk kudanya menyeberangi sungai Tigris. Ketika ia melakukan itu, orang-orangpun mengikutinya. Pada saat musuh mengetahui kedatangan mereka, musuhpun berteriak, maka mereka pun lari ke belakang.
Firman-Nya, wa may yurid tsawaabad dun-yaa nu’tiHi minHaa wa may yurid tsabaabal aakhirati nu’tiHi minHaa (“Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan pula kepadanya pahala akhirat.”) Artinya, barangsiapa yang perbuatannya dimaksudkan untuk tujuan duniawi, maka ia akan memperolehnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah, baginya dan di akhirat kelak ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Dan barangsiapa yang dengan amalnya ia bermaksud mendapatkan pahala akhirat, maka Allah akan memberikannya dan juga mem-berikan bagian dari dunia kepadanya.
Sebagaimana Allah swt. telah berfirman yang artinya: “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya Neraka Jahannam; Ia memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, makamereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al-Israa’ :18-19)
Oleh karena itu, di sini Dia berfirman, wa sanajzisy syaakiriin (“Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”) Maksudnya, Kami akan memberikan karunia dan rahmat, di dunia dan di akhirat sesuai dengan rasa syukur dan amal mereka.
Selanjutnya Allah berfirman menghibur orang-orang yang beriman atas apa yang telah menimpa mereka kepada pada perang Uhud, wa ka ayyim min nabiyyin qaatala ma’aHuu ribbiyyuna katsiirun (“Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut [nya] yang bertakwa.”) Ada yang mengatakan, artinya, berapa banyak Nabi yang terbunuh bersama sejumlah besar Sahabat mereka. Pendapat tersebut menjadi pilihan Ibnu Jarir, sebab ia berkata: wa ka ayyim min nabiyyin qaatala ma’aHuu ribbiyyuna katsiirun “Adapun orang-orang yang membaca, “wa ka ayyim min nabiyyin qutila ma’aHuu ribbiyyuna katsiirun” (Berapa banyak Nabi yang terbunuh bersama sejumlah besar Sahabat mereka), karena mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan terbunuhnya Nabi dan sebagian Sahabat yang ikut bersamanya adalah bukan seluruhnya. Sedangkan peniadaan lemah itu ditujukan kepada para pengikutnya yang tidak terbunuh.” Lebih lanjut ia berkata: “Orang yang membaca: qaatala (berperang), ia memilih hal tersebut karena ia berkata: `Seandainya mereka terbunuh, maka tidak akan ada firman Allah: fa maa waHanuu, (Mereka tidak menjadi lemah). “Yang demikian itu jelas, karena suatu hal yang mustahil bahwa mereka disifati dengan tidak menjadi lemah setelah mereka terbunuh.
Kemudian Ibnu Jarir memilih bacaan orang yang membaca, wa ka ayyim min nabiyyin qutila ma’aHuu ribbiyyuna katsiirun (“Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut [nya] yang bertakwa.”) Karena dengan ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya, Allah swt. mencela orang-orang yang kalah pada perang Uhud dan meninggalkan medan peperangan ketika mereka mendengar seseorang yang berteriak bahwa Muhammad saw. telah meninggal.
Maka Allah mencela mereka lantaran mereka melarikan diri dan meninggalkan medan perang.
Selanjutnya Allah berfirman kepada mereka: a fa im maata au qutila (“Apakah jika ia wafat atau dibunuh,”) wahai orang-orang yang beriman, kalian akan murtad dari agama kalian, serta: inqalabtum ‘alaa a’qaabikum (“kalian berbalik kebelakang?”)
Ada yang mengatakan, berapa banyak Nabi yang dibunuh di hadapan para pengikutnya.
Ada yang mengartikan “ribbiyyuuna” dengan beribu-ribu, sedangkan Ibnu Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, al-Hasan al-Bashri, as-Suddi, ar-Rabi’ dan ‘Atha’ al-Khurasani berkata, “ribbiyyuuna” artinya jumlah yang besar.
Abdurrazzaq berkata dari Ma’mar, dari al-Hasan al-Bashri artinya ulama yang banyak. Dan masih dari al-Hasan al-Bashri, artinya adalah ulama yang sabar, yaitu baik dan bertakwa.
Firman Allah: fa maa waHanuu limaa ashaabaHum fii sabiilillaaHi wa maa dla’ufuu wa mastakaanuu (“Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah dan tidak lesu serta tidak pula menyerah [kepada musuh].”
Qatadah dan ar-Rabi’ bin Anas berkata: wa maa dla’ufuu (“Mereka tidak lesu”) atas kematian Nabi mereka, Sedangkan mengenai firman-Nya, wa mastakaanuu (“Serta tidak pula menyerah,”) Qatadah berkata, mereka tidak mundur dari usaha memenangkan perang dan membela agama mereka. Tetapi mereka terus memerangi apa yang diperangi Nabiyyullah sehingga mereka menghadap Allah (menemui ajal).
Mengenai firman-Nya: wa mastakaanuu (“Serta tidak pula menyerah,”) Ibnu ‘Abbas berkata: “Artinya mereka tidak berdiam diri.” Sedangkan Ibnu Zaid berkata: “Mereka tidak bertekuk lutut di hadapan musuh mereka.”
wallaaHu yuhibbush shaabiriina wa maa kaana qaulaHum illaa an qaaluu rabbanaghfirlanaa dzunuubanaa wa israafanaa fii amrinaa wa tsabbit aqdaamanaa wanshurnaa ‘alal qaumil kaafiriin (“Allah swt. menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan, ‘Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, serta tolonglah kami terhadap kaum yang kajir.’”) Artinya, mereka tidak memiliki sikap kecuali sikap tersebut. Fa aataaHumullaaHu tsawaabad dun-yaa (“Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala dunia.”) Yaitu, pertolongan, kemenangan dan kesudahan yang baik. Wa husna tsawaabil aakhirati (“Dan pahala yang baik di akhirat.”) Yakni, pahala dunia itu digabungkan dengan pahala akhirat.
wallaaHu yuhibbul muhsiniin (“Allah menyukai orang-orang berbuat kebaikan.”)


EmoticonEmoticon