Kata hidayah pada ayat ini berarti bimbingan dan taufiq. Terkadang kata hidayah (muta’addi/tansitif) dengan sendirinya (tanpa huruf lain yang berfungsi sebagai pelengkapnya) seperti pada firman-Nya di sini: iHdinash shiraathal mustaqiim (“Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus.”) dalam ayat tersebut terkandung makna, berikanlah ilham kepada kami, berikanlah taufik kepada kami, berikanlah rizky kepada kami, atau berikanlah anugerah kepada kami.
Sebagaimana yang ada pada firman-Nya: wa HadainaaHun najdaiin (“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.”)(al-Balad: 10) artinya, Kami telah menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Selain itu, dapat juga menjadi muta’addi (transitif) dengan memakai kata “ila” sebagaimana firman-Nya: ijtabaaHu wa HadaaHu ilaa shiraathim mustaqiim (“Allah telah memilihnya dan menunjukkannya kepada jalan yang lurus.”)(an-Nahl: 121)
Sebagaimana yang ada pada firman-Nya: wa HadainaaHun najdaiin (“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.”)(al-Balad: 10) artinya, Kami telah menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Selain itu, dapat juga menjadi muta’addi (transitif) dengan memakai kata “ila” sebagaimana firman-Nya: ijtabaaHu wa HadaaHu ilaa shiraathim mustaqiim (“Allah telah memilihnya dan menunjukkannya kepada jalan yang lurus.”)(an-Nahl: 121)
Makna hidayah dalam ayat-ayat di atas adalah dengan pengertian bimbingan dan petunjuk. Demikian juga firman-Nya: wa innaka lataHdii ilaa shiraathim mustaqiim (“Dan sesungguhnya engkau [Rasulullah saw.] benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”)(asy-Syuraa’: 52)
Terkadang ia [kata hidayah] menjadi muta’addi dengan memakai kata “li”, sebagaimana yang diucapkan oleh para penghuni surga: alhamdulillaaHil ladzii Hadaanaa liHaadzaa (“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada surga ini.”)(al-A’raf: 43) artinya, Allah memberikan taufik kepada kami untuk memperoleh surga ini dan Dia jadikan kami sebagai penghuninya.
Terkadang ia [kata hidayah] menjadi muta’addi dengan memakai kata “li”, sebagaimana yang diucapkan oleh para penghuni surga: alhamdulillaaHil ladzii Hadaanaa liHaadzaa (“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada surga ini.”)(al-A’raf: 43) artinya, Allah memberikan taufik kepada kami untuk memperoleh surga ini dan Dia jadikan kami sebagai penghuninya.
Firman-Nya: ash-Shiraathal mustaqiim; Imam Abu Ja’far bin Jarir mengatakan, ahlut tafsir secara keseluruhan sepakat bahwa ash-shiraathal mustaqiim itu adalah jalan yang terang dan lurus. Kemudian terjadi perbedaan ungkapan para mufassir baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf dalam menafsirkan kata ash-shiraath, meskipun pada prinsipnya kembali kepada satu makna, yaitu mengikuti Allah dan Rasul-Nya.
Jika ditanya: “Mengapa seorang mukmin meminta hidayah pada setiap saat, baik pada waktu mengerjakan shalat maupun di luar shalat, padahal ia sendiri menyandang sifat itu. Apakah yang demikian itu termasuk tahshilul bashil (berusaha memperoleh sesuatu yang sudah ada)?” jawabannya adalah tidak. Kalau bukan karena dia perlu memohon hidayah siang dan malam hari, niscaya Allah tidak akan membimbing ke arah itu. Sebab seorang hamba senantiasa membutuhkan Allah setiap saat dan situasi agar diberi keteguhan, kemantapan, penambahan, dan kelangsungan hidayah, karena ia tidak kuasa memberikan manfaat atau mudlarat kepada dirinya sendiri kecuali Allah menghendaki. Oleh karena itu Allah selalu membimbingnya agar ia senantiasa memohon kepada-Nya setiap saat dan supaya Dia memberikan pertolongan, keteguhan dan taufik.
Orang yang berbahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah untuk memohon kepada-Nya. Sebab Allah telah menjamin akan mengabulkan permohonan seseorang jika ia memohon kepada-Nya, apalagi permohonan orang yang dalam keadaan terdesak dan sangat membutuhkan bantuan-Nya, pada tengah malam dan siang hari. Firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.” (an-Nisaa’: 136)
Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk tetap beriman. Dan hal itu bukan termasuk tahshilul hashil, karena maksudnya adalah ketetapan, kelangsungan, dan kesinambungan amal yang dapat membantu kepada hal tersebut. Allah juga memerintahkan kepada hamba-Nya yang beriman agar mengucapkan do’a: rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da idz Hadaitanaa wa Hablanaa mil ladungka rahmatan innaka antal waHHaab (“Ya Rabb kami, jangan Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Mahapemberi [karunia].”)(Ali ‘Imraan: 8)
Abu Bakar ash-Shiddiq pernah membaca ayat ini dalam rakaat ketiga pada shalat maghrib secara sirri (tidak keras), setelah selesai membaca al-Fatihah.
Dengan demikian, makna firman-Nya: iHdinash shiraathal mustaqiim; adalah: “Semoga Engkau terus berkenan menunjuki kami di atas jalan yang lurus itu dan jangan Engkau simpangkan ke jalan yang lainnya.”
Dengan demikian, makna firman-Nya: iHdinash shiraathal mustaqiim; adalah: “Semoga Engkau terus berkenan menunjuki kami di atas jalan yang lurus itu dan jangan Engkau simpangkan ke jalan yang lainnya.”

Firman-Nya: Shiraathal ladziina an-‘amta ‘alaiHim (“Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.”) adalah sebagai tafsir dari firman-Nya, jalan yang lurus. Dan merupakan badal menurut para ahli nahwu dan boleh pula sebagai athaf bayan. wallaaHu a’lam.
Orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah itu adalah orang-orang yang tersebut dalam surah an-Nisaa’, Dia berfirman:
“Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (an-Nisaa’: 69-70)
(bersambung ke bagian 12)
“Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (an-Nisaa’: 69-70)
(bersambung ke bagian 12)
EmoticonEmoticon