Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 26-27

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-BaqarahSurat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 26-27“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Rabb mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan oleh Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. 2: 26-27)
Abdur Razak meriwayatkan dari Mu’ammar, dari Qatadah, menurutnya, “Ketika Allah swt. menyebutkan laba-laba dan lalat, orang-orang musyrik pun bertanya, “Untuk apa laba-laba dan lalat itu disebut?” lalu Allah swt menurunkan ayat: innallaaHa laa yastahyii ay yadl-riba matsalam maa ba’uudlatan famaa fauqaHaa. Makna ayat tersebut bahwa Allah swt. memberitahukan bahwa Dia tidak memandang remeh. Ada yang mengartikan, tidak takut untuk membuat perumpamaan apa saja baik dalam bentuk yang kecil maupun besar.
Kata “maa” untuk sini menunjukkan sesuatu yang kecil atau sedikit. Sedang kata “ba’uudlatan” dalam ayat itu berkedudukan sebagai badal (pengganti). Sebagaimana jika anda mengatakan: la adlribanna dlarban maa (aku akan memberikan perumpamaan apa pun), yang berarti sekecil apa saja. Atau “maa” berkedudukan sebagai nakirah (indefinite noun) yang disifati dengan kata ba’udhah (nyamuk).
Firman-Nya: famaa fauqaHaa. Mengenai penggalan ayat ini terdapat dua pendapat. Salah satu pendapat mengatakan: “Artinya lebih kecil dan lebih hina.” Sebagaimana seseorang yang disifati dengan tabiat “keji” dan “kikir”. Maka orang yang mendengarnya berkata: “Benar, bahkan ia lebih dari itu.” Maksudnya apa yang disifatkan. Ini adalah pendapat al-Kisa’i dan Abu Ubaid menurut ar-Razzi dan mayoritas muhaqqiqin.
Pendapat kedua menyatakan: “Lebih besar darinya” karena tidak ada yang lebih hina dan kecil daripada nyamuk. Ini pendapat Qatadah dan Ibnu Di’amah, dan menjadi pilihan Ibnu Jarir. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Diriwayatkan dari A’isyah ra. bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau lebih besar darinya melainkan dicatat baginya derajaat dan dihapuskan dosa darinya”. (HR. Muslim).
Maka Allah memberitahukan bahwa Dia tidak pernah menganggap remah segala sesuatu yang telah dijadikan-Nya sebagai perumpamaan. Meskipun hal yang hina dan kecil seperti nyamuk. Sebagaimana Dia tidak memandang enteng penciptanya, Dia pun tidak segan untuk membuat perumpamaan dengan nyamuk itu sebagaimana Dia telah membuat perumpamaan dengan lalat (lihat surah al-Hajj: 73) dan laba-laba (lihat surah Al-Ankabut: 41). Di dalam al-Qur’an terdapat banyak perumpamaan.
Sebagian ulama salaf menuturkan: “Jika aku mendengar perumpamaan di dalam al-Qur’an, lalu aku memahaminya, maka aku menangisi diriku karena Allah berfirman: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-Ankabut: 43)
Mengenai firman-Nya: “Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu dari Rabb mereka.” Qatadah mengatakan, artinya mereka mengetahui bahwa hal demikian itu merupakan firman Allah dan berasal dari sisi-Nya.
Hal yang sama juga diriwayatkan dari Mujahid, al-Hasan al-Bashri, dan ar-Rabi’ bin Anas. Menurut Abu Aliyah: “Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu dari Rabb mereka.” yakni perumpamaan tersebut.
Firman Allah selanjutnya: “Adapun orang-orang yang kafir, mereka mengatakan: ‘Apakah maksud Allah menjadikan ini sebagai perumpamaan?’” dan di sini Allah juga berfirman: “Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan oleh Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,”
Dalam tafsirnya as-Suddi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Murrah, Ibnu Mas’ud dan beberapa orang shahabat Rasulullah saw. bahwa yang dimaksud dengan “yudlillu biHii katsiiran” ialah orang-orang munafik, sedangkan yang dimaksud dengan “wa yaHdii biHii katsiiran” yakni orang-orang yang beriman.
Kesesatan mereka akan terus bertambah karena pengingkaran mereka terhadap perumpamaan yang diberikan oleh Allah yang telah mereka ketahui dengan benar dan yakin.
Ketika perumpamaan itu benar dan tepat, maka demikian itu merupakan penyesatan bagi mereka. Dan dengan perumpamaan itu Dia telah memberikan petunjuk kepada orang yang beriman, sehingga petunjuk demi petunjuk semakin bertambah kepada mereka, imanpun semakin tebal. Karena kepercayaan mereka atas apa yang mereka ketahui dengan yakin dan benar bahwa ia pasti sesuai dengan apa yang telah diperumpamakan oleh Allah serta pengakuan mereka atas hal itu. Yang demikian itu merupakan petunjuk bagi mereka dari Allah swt.
Wa maa yudlillu biHii illal faasiquun (“Dan tidak ada yang disesatkan Allah dengannya kecuali orang-orang yang fasik.”) as-Suddi mengatakan: “Mereka itu adalah orang-orang munafik.”
Secara etimologis, al faasiqu [orang fasik] berarti yang keluar dari ketaatan. Masyarakat Arab biasa mengemukakan: fasaqatir rathbatu, jika sisi kurma keluar dari kulitnya. Oleh sebab itu tikus juga disebut sebagai: fuwaisiqatun; karena selalu keluar dari persembunyiannya untuk melakukan kerusakan.
Diriwayatkan dalam kitab shahih al-Bukhari dan Muslim hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah bersabda: “Ada lima jenis binatang fasik yang boleh dibunuh, baik di tanah halal atau pun tanah haram, yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing gila.”
Dengan demikian, fasik di sini mencakup orang kafir dan juga orang durhaka. Namun demikian, kefasikan orang kafir lebih hebat dan keji. Yang dimaksudkan dengan kefasikan dalam ayat ini adalah orang kafir, Wallahu a’lam, dengan dalil bahwa Allah swt. menyifati mereka melalui firman-Nya,
“Yaitu orang-orang yang melanggarperjanjian Allah setelah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi.”
Sifat-sifat tersebut merupakan sifat orang-orang kafir yang benar- benar berbeda dengan orang-orang mukmin. Para ahli tasfir berbeda pendapat mengenai pengertian al- ahdu (perjanjian) yang telah dilanggar oleh orang-orang fasik itu. Sebagian mereka menyebutkan, yaitu wasiat dan perintah Allah yang disampaikan kepada makhluk-Nya agar senantiasa menaati-Nya dan menjauhi larangan-Nya melalui kandungan kitab-kitab-Nya dan sabda rasul-rasul-Nya. Pelanggaran terhadap hal itu yaitu pengabaian terhadap pengamalannya.
Ahli tafsir lainnya berpendapat, mereka itulah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dari kalangan ahlul kitab. Sedang perjanjian yang mereka langgar adalah perjanjian yang telah diambil Allah swt. atas mereka di dalam kitab Taurat, yaitu mengamalkan kandungan isi di dalamnya dan mengikuti Muhammad saw. sebagai utusan-Nya, serta membenarkan apa yang dibawanya dari sisi Rabb mereka. Sedang pelanggaran mereka itu adalah pengingkaran terhadap Muhammad saw. setelah mereka mengetahui hakikatnya dan menyembunyikan pengetahuan mengenai hal itu dari umat manusia padahal mereka sudah memberikan janji kepada Allah , untuk menjelaskan kepada manusia serta tidak menyembunyikannya. Maka Allah memberitahukan bahwa mereka telah mencampakkan perjanjian itu di belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga yang sangat murah. Tafsiran ini merupakan pilihan Ibnu Jarir rahimahullah dan pendapat Muqatil bin Hayyan.
Firman Allah swt “Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya.” Ada yang mengatakan, yang dimaksud dengan hal itu adalah menyambung tali silaturrahmi dan kekerabatan’, sebagaimana yang ditafsirkan Qatadah.
Seperti firman Allah swt “Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad: 22).
Penafsiran ini ditarjih (dinilai kuat) oleh Ibnu Jarir. Ada pendapat lain bahwa, yang dimaksudkan lebih umum dari itu, yaitu mencakup semua yang diperintah Allah untuk menyambung dan melakukannya. Tetapi mereka memutuskan dan mengabaikannya.
Mengenai firman Allah “Mereka itulah orang-orang yang merugi,” Muqatil bin Hayyan mengatakan, yaitu di alarn akhirat. Dan ini seperti yang difirmankan-Nya dalam surat yang lain, “Mereka itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk Jahanam.” (QS. Ar-Ra’ad: 25).
Bersumber dari Ibnu Abbas, ad-Dhahhak mengatakan: “Semua yang dinisbatkan Allah kepada selain orang-orang Islam, misalnya khasir (orang yang merugi), maksudnya tiada lain adalah kekufuran; dan apa yang dinisbatkan kepada orang-orang Islam, maksudnya adalah perbuatan dosa.”
Mengenai firman-Nya, “Mereka itulah orang-orang yang merugi, “Ibnu Jarir mengatakan “al khaashiruun” jamak dari kata “al khaashir” yaitu mereka yang mengurangi perolehan rahmat bagi diri mereka sendiri dengan cara berbuat maksiat kepada Allah swt. Sebagaimana seseorang merugi dalam bisnisnya tersebut.
Demikian halnya dengan orang-orang munafik dan orang-orang kafir merugi, karena Allah mengharamkan bagi mereka rahmat-Nya yang sengaja diciptakan bagi hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya pada hari kiamat kelak mereka sangat membutuhkan rahmat Allah tersebut.


EmoticonEmoticon