Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 17-18

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 17-18“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, mereka tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali [ke jalan yang benar],” (QS. 2:17-18)
Kata “matsalun” (contoh/perumpamaan), dapat juga dalam bentuk lain seperti atau “mistlun” atau “matsilun” dan jamaknya adalah “amtsaalun”. Allah berfirman yang artinya: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-‘Ankabuut: 43)
Makna dari perumpamaan tersebut adalah bahwa Allah menyerupakan tindakan mereka membeli kesesatan dengan petunjuk dan perubahan mereka dari melihat menjadi buta, dengan orang yang menyalakan api. Ketika api itu menerangi sekitarnya, dan ia dapat melihat apa yang berada di sebelah kanan dan kirinya, tiba-tiba api itu padam sehingga ia benar-benar berada dalam kegelapan, tidak dapat melihat dan tidak pula memperoleh petunjuk.
Kondisi seperti itu ditambah lagi dengan keadaan dirinya yang tuli sehingga tidak dapat mendengar, bisu sehingga tidak dapat bicara, dan buta sehingga tidak dapat melihat. Oleh karena itu, ia tidak akan dapat kembali ke tempat semula. Demikian pula keadaan orang-orang munafik yang menukar kesesatan dengan petunjuk, dan mencintai kebathilan dari pada kelurusan. Dalam perumpamaan ini terdapat bukti bahwa orang-orang munafik itu pertama kali beriman kemudian kafir. Sebagaimana yang telah diberitahukan Allah Tabaraka wa Ta’ala mengenai mereka pada pembahasan yang lain.
Dalam hal ini penulis (Ibnu Katsir) katakan, pada saat penyebutan perumpamaan berlangsung, terjadi perubahan ungkapan dari bentuk mufrad (tunggal) ke bentuk jama’ (banyak) dalam firman Allah swt
“Setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah menghilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan. Mereka tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka mereka tidak akan kembali.” Ungkapan seperti ini lebih benar dan lebih tepat juga lebih mengena dalam susunannya.
Firman-Nya, dzaHaballaaHu binuuriHim “Allah menghilangkan cahaya mereka,”
artinya, Allah mengambil sesuatu yang sangat bermanfaat bagi mereka, yaitu cahaya, serta membiarkan sesuatu yang membahayakan bagi mereka, yaitu kebakaran dan asap.
Wa tarakaHum fidh-dhulumaatin (“Dan membiarkan mereka dalam kegelapan.”) Yaitu keberadaan mereka dalam keraguan, kekufuran, dan kemunafikan. Laa yubshiruun (“Mereka tidak dapat melihat.”) Maksudnya, mereka tidak mendapat jalan menuju kebaikan serta tidak mengetahuinya. Lebih dari itu mereka shummun “Tuli,” bukmun “tidak mendengar kebaikan yang bermanfaat bagi mereka dan ‘umyun “Buta”, yaitu berada dalam kesesatan dan kebutaan hati, sebagaimana firman-Nya: “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46).
Oleh karena itu, mereka tidak dapat kembali ke tempat semula di mana mereka mendapatkan hidayah yang telah dijualnya dengan kesesatan. Mengenai firman Allah: matsaluHum kamatsalil ladzis tauqada naaran falammaa adlaa-at maa haulaHuu (“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api. Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya,”) Abdur Razak meriwayatkan dari Mu’ammar, dari Qatadah, mengatakan, kalimat itu adalah kalimat “Laa ilaaHa illallaaH” yang memberikan penerangan kepada mereka, lalu dengan penerangan itu mereka makan, minum, dan beriman di dunia, menikahi para wanita, dan mempertahankan darah (baca: nyawa) sehingga ketika mereka meninggal dunia, Allah mengambil cahaya itu dan membiarkan mereka dalam kegelapan (tidak dapat melihat).


EmoticonEmoticon