Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 101

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 101

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 101
“Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-An’aam: 101)
Badii’us samaawaati wal ardli (“Dia pencipta langit dan bumi.”) Maksudnya, yang mengadakan dan menciptakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Mujahid dan as-Suddi. Dan dari pengertian itu pula diambil istilah “bid’ah”, karena hal itu belum pernah ada sebelumnya.
Annaa yakuunu laHuu waladun (“Bagaimana Dia mempunyai anak.”) Artinya, bagaimana mungkin Allah mempunyai anak padahal Allah tidak mempunyai isteri. Karena anak itu terlahir hanya karena adanya dua pasang yang sepadan, sedangkan Allah tidak ada satu pun makhluk-Nya yang dapat menyamai dan menyerupai-Nya, karena Dia adalah Pencipta segala sesuatu, sehingga tidak ada isteri dan anak bagi-Nya.
Wa khalaqa kulli syai-iw wa Huwa bikulli syai-in ‘aliim (“Dia menciptakan segala sesuatu, dan
Dia mengetahui segala sesuatu.”) Allah menjelaskan bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan Allah mengetahui segala sesuatu. Lalu bagaimana mungkin Allah memiliki isteri yang sesuai dengan-Nya dari kalangan makhluk-Nya, padahal tidak ada satu pun makhluk-Nya yang setara dengan-Nya, lalu bagaimana Allah mempunyai anak? Mahatinggi Allah dari semuanya itu setinggi-tingginya.
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 100

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 100

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 100“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin jin itu, dan mereka berbohong (dengan mengatakan): ‘Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan,’ tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.” (QS. al-An’aam: 100)
Ini merupakan bantahan terhadap orang-orang musyrik yang beribadah kepada ilah-ilah selain Allah. Mereka juga menyekutukan-Nya dalam menjalankan ibadah, yaitu mereka beribadah kepada jin dan menjadikannya sebagai sekutu bagi-Nya dalam beribadah, Mahatinggi Allah dari kemusyrikan dan kekafiran mereka. Jika dikatakan: “Bagaimana bisa jin itu diibadahi, padahal mereka itu beribadah kepada berhala?” Jawabannya adalah, bahwa mereka itu tidak beribadah kepada mereka (patung atau berhala), melainkan sebagai
wujud ketaatan mereka kepada jin, yang telah menyuruh mereka melakukan hal itu.
Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Patutkah kamu mengambil dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain dari-Ku.” (QS. Al-Kahfi: 50). Dan pada hari Kiamat kelak, para Malaikat berkata yang artinya: “Maha suci Engkau, Engkaulah pelindung Kami bukan mereka, bahkan mereka telah menyembah jin dan kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.” (Saba’: 41)
Oleh karena itu Allah berfirman: wa ja’alullaaHi syurakaa-al jinna wa khalaqaHum (“Dan mereka [orang-orang musyrik] menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allahlah yang menciptakan jin-jin itu.”) Maksudnya, padahal Allahlah yang telah menciptakan mereka, Dialah Yang Mahapencipta yang tiada sekutu bagi-Nya, lalu bagaimana bisa selain diri-Nya diibadahi bersama dengan ibadah kepada-Nya.
Sebagaimana ucapan Ibrahim yang artinya: “Apakah kamu beribadah kepada patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaaffaat: 95-96). Makna ayat tersebut adalah bahwa Allah berdiri sendiri dalam menciptakan semua makhluk. Oleh karena itu Dia harus diesakan dalam ibadah, hanya Dia saja, tiada sekutu bagi-Nya.
Firman-Nya: wa kharaquu laHuu baniina wa banaatim bighairi ‘ilmi (“Dan mereka membuat kebohongan [dengan mengatakan] ‘Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan, ‘tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan.”)
Dengan (ayat) ini, Allah mengingatkan kesesatan orang-orang yang sesat yang menyatakan, bahwa Allah mempunyai anak, sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan orang-orang Yahudi terhadap ‘Uzair, dan orang-orang Nasrani terhadap `Isa, serta anggapan di kalangan orang-orang musyrik Arab bahwa Malaikat itu anak perempuan Allah. Mahatinggi Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang dhalim dengan ketinggian yang setinggi-tingginya.
Makna firman-Nya: “wa kharaquu” yaitu, mereka mengada-ada dan berdusta, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama Salaf. Jadi penafsirannya adalah, bahwa mereka telah menjadikan jin sebagai sekutu Allah dalam ibadah mereka, padahal Allah Ta’ala hanya sendiri dalam menciptakan mereka tanpa adanya sekutu, pembantu, dan pendukung.
wa kharaquu laHuu baniina wa banaatim bighairi ‘ilmi (“Dan mereka membuat kebohongan [dengan mengatakan] ‘Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan, ‘tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan.”) Yaitu, tanpa adanya (ilmu) pengetahuan terhadap hakikat apa yang mereka katakan, tetapi mereka katakana itu karena kejahilan (kebodohan) mereka akan Allah Ta’ala serta keagungan-Nya. Sesungguhnya tidak layak bagi Rabb sebagai Ilah untuk memiliki anak, laki-laki maupun perempuan, dan tidak juga isteri, dan tidak juga sekutu yang bersekutu dengan-Nya dalam penciptaan.
Oleh karena itu Allah berfirman: subhaanaHuu wa ta’aalaa ‘ammaa yashifuun (“Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.”) Maksudnya, Mahasuci dan Mahaagung dari disifati dengan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang bodoh lagi sesat, yaitu sifat kepemilikan anak, tandingan yang setara dan sekutu.
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 98-99

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 98-99

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 98-99“Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 6:98) Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman. (QS. 6:99)” (al-An’aam: 98-99)
Allah berfirman: wa Huwal ladzii ansya-akum min nafsiw waahidatin (“Dan Dialah yang telah menciptakan kamu dari seorang diri.”) Yakni Adam as.
Firman-Nya: fa mustaqarruw wa mustauda’ (“Maka [bagimu] ada tempat tetap dan tempat simpanan.”) para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Dari Ibnu Mas’ud, ibnu ‘Abbas, Abu ‘Abdir Rahman as-Sulami, Qais bin Abi Hazim, Muhahid, ‘Atha’, Ibrahim an-Nakha’i, adh-Dhahhak, Qatadah, as-Suddi, ‘Atha’ al-Khurasani dan juga ulama lainnya mengatakan, “Mustaqarruw” yaitu di dalam rahim.” Mereka atau mayoritas dari mereka mengatakan: wal mustauda’ yaitu di dalam tulang sulbi.” Sedangkan Ibnu ‘Abbas dan sekelompok mufasirin mengatakan sebaliknya. Tetapi pendapat yang pertama adalah lebih jelas. wallahu a’lam.
Firman Allah: qad fash-shalnaa aayaatil liqaumiy yafqaHuun (“Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.”) artinya mereka memahami dan menyadari kalamullah beserta maknanya.
Firman-Nya: wa Huwal ladzii anzala minas samaa-i maa-an (“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit.”) maksudnya dengan kadarnya tertentu yang menjadi berkah dan rizki bagi makhluk, serta sebagai rahmat Allah bagi seluruh makhluk-Nya.
Fa akhraja biHii nabaata kulli syai-in fa akhrajnaa minHu khadliran (“Lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau.”) Yaitu, tanaman-tanaman dan pepohonan yang hijau, dan setelah itu kami menciptakan di dalamnya biji-bijian dan buah-buahan.
Oleh karena itu Allah berfirman: nukhriju minHu habbam mutaraakiban (“Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang tersusun.”) maksudnya tersusun antara satu dengan yang lainnya, seperti bulir [misalnya pada padi], dan yang lainnya.
Wa minan nakhli min thal’iHaa qinwaanun (“Dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangaki yang menjulai.”) kata “qinwaanun” merupakan jamak dari kata “qinwun” yang berarti tandan kurma.
Daaniyatun (“yang menjulai”) maksudnya mudah dipetik bagi yang memetiknya.
Sebagaimana yang dikatakan `Ali bin Abi Thalhah al-Walibi, dari Ibnu `Abbas: qinwaanun daaniyatun; yang dimaksud dengannya adalah pohon kurma yang pendek yang tandannya menyentuh ke tanah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir)
Ia (Ibnu Jarir) mengatakan: “qinwaanun” merupakan jamak dari kata “qinwun” sebagaimana kata “sinwaanun” adalah jamak dari kata “sinwun”.
Firman-Nya lebih lanjut: wa jannaatim min a’naab (“Dan kebun-kebun anggur.”) Maksudnya, Kami juga mengeluarkan darinya kebun-kebun anggur. Kedua jenis buah itu (anggur dan kurma) merupakan jenis yang paling berharga bagi penduduk Hijaz, bahkan mungkin merupakan dua jenis buah terbaik di dunia. Sebagaimana Allah telah memberikan anugerah kepada hamba-hamba-Nya berupa kedua macam buah tersebut dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rizki yang baik.” (QS. An-Nahl: 67). Hal itu terjadi sebelum pengharaman khamr.
Firman-Nya lebih lanjut: waz zaituuna war rummaana musytabiHan wa ghaira mutasyaabiHin (“Dan [Kami keluarkan Pula] zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa.”) Qatadah dan ulama lainnya mengatakan: “Yaitu kesamaan dalam daun dan bentuk, di mana masing-masing saling berdekatan, tetapi mempunyai perbedaan pada buahnya, balk bentuk, rasa, maupun sifatnya.”
Firman-Nya: undhuruu ilaa tsamariHii idzaa atsmara wa yan’iHi (“Perhatikanlah buahnya pada waktu pohonnya berbuah, dan [perhatikan pulalah] kematangannya.”) Al-Barra’ bin `Azib, Ibnu `Abbas, adh-Dhahhak, `Atha’ al-Khurasani, as-Suddi, Qatadah, dan ulama lainnya mengatakan: “Maksudnya, pikirkanlah kekuasaan Penciptanya, dari tidak ada menjadi ada, setelah sebelumnya berupa sebuah kayu (pohon), kemudian menjadi anggur dan kurma dan lain sebagainya, dari berbagai ciptaan Allah berupa berbagai warna, bentuk, rasa, dan aroma.”
Oleh karena itu, di sini Allah berfirman: inna fii dzaalikum (“Sesungguhnya pada yang demikian itu,”) hai sekalian umat manusia. La aayaatin (“ada tanda-tanda”) yaitu bukti-bukti kesempurnaan kekuasaan Penciptanya, hikmah, dan rahmat-Nya. Liqaumiy yu’minuun (“Bagi orangorang yang beriman.”) Maksudnya, mereka yang membenarkan-Nya dan mengikuti para Rasul-Nya.
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 95-97

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 95-97

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 95-97“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling. (QS. 6:95) Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui. (QS. 6:96) Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 6:97)” (al-An’aam: 95-97)
Allah memberitahukan, bahwa Dia menumbuhkan biji dan benih tumbuh-tumbuhan. Artinya, Allah membelahnya di dalam tanah (yang lembab), kemudian dari biji-bijian tersebut tumbuhlah berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, sedangkan dari benih-benih itu (tumbuhlah) buah-buahan dengan berbagai macam warna, bentuk dan rasa yang berbeda.
Oleh karena itu firman Allah: faaliqul habbi wan nawaa (“Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan.”) Ditafsirkan dengan firman-Nya: yukhrijul hayya minal mayyiti wa mukhrijul mayyiti minal hayyi (“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.”) Maksudnya, Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang hidup dari biji dan benih, yang merupakan benda mati.
Sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka dari padanya mereka makan. [sampai dengan firman-Nya-] Dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yaasiin: 33-36)
Firman-Nya: wa mukhrijul mayyiti minal hayyi (“Dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.”) Penggalan ayat ini ber’athaf kepada: faaliqul habbi wan nawaa (“Menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan.”) Kemudian Allah menafsirkannya dan setelah di’athafkan padanya firman-Nya: wa mukhrijul mayyiti minal hayyi (“Dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.”)
Para ahli tafsir mengungkapkan tentang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan demikian pula sebaliknya, dengan berbagai macam ungkapan yang semuanya saling berdekatan makna. Ada di antara mereka yang mengatkan: “Yaitu mengeluarkan ayam dari telur, atau sebaliknya.” Dan ada juga yang mengatakan: “Lahirnya anak shaleh dari orang yang jahat, dan sebaliknya.”
Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan lainnya yang tercakup dalam makna ayat tersebut.
Setelah itu Allah berfirman: dzaalikumullaaH (“[Yang memiliki sifat-sifat] demikian adalah Allah.”) Maksudnya, yang melakukan semuanya itu tidak lain adalah Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Fa annaa tu’fakuun (“Maka mengapa kamu masih berpaling?”) Maksudnya, mengapa kalian berpaling dari kebenaran seraya menjauhinya menuju kepada yang bathil, sehingga kalian beribadah kepada ilah-ilah lain selain Allah.
Firman-Nya lebih lanjut: faaliqul ishbaaha wa ja’alal laila sakanan (“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat.”) Maksudnya, Allahlah yang menciptakan terang dan gelap. Artinya, Allahlah yang menggantikan kegelapan malam menjadi terbitnya waktu pagi lalu menyinari semua yang ada, dan ufuk pun bersinar terang, hingga lenyaplah kegelapan, malam pun pergi dengan kegelapannya, lalu datang siang dengan cahayanya yang terang.
Allah menjelaskan kekuasaan-Nya dalam menciptakan segala sesuatu yang saling bertentangan dan berbeda, yang menunjukkan kesempurnaan keagungan-Nya dan kebesaran kekuasaan-Nya. Allah menyebutkan bahwa Dialah yang menyingsingkan pagi atau sebaliknya, yaitu firman-Nya: waja’al laila sakanan (“Dan menjadikan malam untuk beristirahat.”) Maksudnya, hening dan gelap supaya segala sesuatu dapat merasakan ketenangan.
Shuhaib ar-Rumi pernah berkata kepada isterinya yang murung karena melihat suaminya sering tidak tidur malam: “Sesungguhnya Allah menjadikan malam untuk beristirahat kecuali untuk Shuhaib, karena jika ia mengingat Surga, maka muncullah kerinduannya yang mendalam, dan jika ia mengingat Neraka, maka hilanglah rasa kantuknya.”
Firman-Nya lebih lanjut: wasy-syamsa wal qamara husbaanan (“Dan [menjadikan] matahari dan bulan untuk perhitungan.”) Artinya, keduanya berjalan menurut perhitungan yang sempurna, terukur, tidak berubah, dan beraturan. Masing-masing dari keduanya memiliki orbit yang dilaluinya pada musim panas dan musim dingin, sehingga perjalanan itu menghasilkan pergantian malam dan Siang berikut panjang dan pendeknya.
Firman-Nya: dzaalika taqdiirul ‘aziizil ‘aliim (“Itulah ketentuan Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui.”) Maksudnya, segala sesuatu itu terjadi melalui ketetapan Allah yang Mahaperkasa yang tiada sesuatu pun dapat menentang dan menolaknya, yang Mahamengetahui segala sesuatu, sehingga tidak ada sebesar atom pun balk di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.
Seringkali dalam menyebutkan penciptaan siang dan malam, matahari dan bulan, Allah mengakhirinya dengan kalimat “Mahaperkasa dan Mahamengetahui,” sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tersebut.
Firman Allah: wa Huwal ladzii ja’ala lakumun nujuuma litaHtaduu biHaa fii dhulumaatil barri wal bahri (“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut.”) Sebagian ulama salaf mengatakan: “Barangsiapa yang meyakini bahwa bintang-bintang itu mempunyai fungsi selain dari tiga hal tersebut, maka ia telah melakukan kesalahan dan berbuat dusta terhadap Allah swt. karena Allah telah menjadikannya sebagai hiasan langit, sebagai alat melempari syaithan, dan sebagai petunjuk bagi manusia di kegelapan daratan dan lautan.”
Firman-Nya: qad fash-shalnaa aayaati (“Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran [Kami].”) Maksudnya Kami telah menjelaskan dan menerangkannya; liqaumiy ya’lamuun (“Kepada orang-orang yang mengetahui.”) maksudnya orang-orang yang berakal, yang mengetahui kebenaran dan menghindari semua kebathilan.
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 93-94

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 93-94

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 93-94“93. dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya”, Padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: “Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.” Alangkah dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang Para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu” di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya. 94. dan Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa’at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).” (al-An’am: 93-94)
Allah berfirman: wa man adhlamu mim maniftaraa ‘alallaaHi kadziban (“Dan siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah.”)
Maksudnya, tidak ada seorang pun yang lebih dhalim dari orang yang mengada-ada kedustaan terhadap Allah, di mana ia menjadikan bagi-Nya sekutu, anak, atau mengaku bahwa Allah telah mengutus dirinya kepada umat manusia, padahal Allah lama sekali tidak pernah mengutusnya.
Oleh karena itu Allah berfirman: au qaala uuhiya ilayya wa lam yuuhaa ilaiHi sya-un (“Atau yang berkata: ‘Telah dwahyukan kepadaku,’ padahal tidak diwahyukan sesuatu pun kepadanya.”) `Ikrimah dan Qatadah mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan Musailamah al-Kadzdzab.”
Firman Nya: wa man qaala sa-unzilu mitsla maa anzalallaaHu (“Dan orang yang berkata: ‘Aku akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.’”) Dan barangsiapa mengaku bahwa dirinya mampu menandingi wahyu yang dibawa dari sisi Allah dengan perkataan yang diada-adakannya. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata: `Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat seperti ini). Kalau kami menghendaki, niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini.’” (QS. Al-Anfaal: 31)
Allah berfirman: walau taraa idzidh dhaalimuuna fii ghamaraatil mauti (“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang dhalim [berada] dalam tekanan-tekanan sakaratul maut.”) Yakni berada dalam sakaratul maut dan kesulitan-kesulitannya.
Wal malaa-ikatu baasithuu aidiiHim (“Sedang malaikat membentangkan tangannya.”) Maksudnya yaitu memukul.
Adh-Dhahhak dan Abu Shalih mengemukakan: “Para Malaikat membentangkan tangan mereka, maksudnya yaitu mengadzab.”
Yang demikian itu, bahwa jika orang kafir mengalami naza’ (sekarat), maka Malaikat akan membawakan kepadanya berita gembira berupa adzab, belenggu, rantai, Neraka Jahim, air panas yang bergolak, dan kemurkaan Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang, sehingga nyawanya bergejolak dalam jasadnya dan enggan keluar darinya, kemudian Malaikat memukulnya sehingga arwah mereka keluar dari jasad mereka seraya para Malaikat berseru kepada mereka:
Akhrijuu anfusakumul yauma tujzauna ‘azaabul Huuni bimaa kuntum taquuluuna ‘alallaaHi ghairal haqqi (“’Keluarkanlah nyawamu!’ Pada hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah [perkataan] yang tidak benar.’”) Maksudnya, pada hari ini, kalian benar-benar dihinakan sehina-hinanya, sebagaimana dulu kalian telah mendustakan Allah dan enggan mengikuti ayat-ayat-Nya serta angkuh tunduk patuh kepada para Rasul-Nya.
Telah banyak hadits mutawatir yang disebutkan berkenaan dengan saat naza’ yang dialami orang mukmin dan orang kafir, yang semuanya itu ada pada pembahasan firman Allah yang artinya:
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (QS. Ibrahim: 27)
Firman-Nya: wa laqad ji’tumuunaa furaadaa kamaa khalaqnaakum awwala marratin (“Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri, sebagaimana kamu Kami ciptakan
pada mulanya.”) Maksudnya, hal tersebut dikatakan kepada mereka pada hari mereka dikembalikan. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya:
“Dan mereka akan dibawa ke hadapan Rabbmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakanmu pada kali yang pertama.” (QS. Al-Kahfi: 48)
Maksudnya, sebagaimana Kami telah menciptakan kalian pertama kali, maka Kami mengembalikan kalian seperti itu lagi, dan kalian telah mengingkari hal itu akan terjadi dan bahkan menganggapnya mustahil, maka inilah hari kebangkitan itu.
Firman Allah: wa taraktum maa khawwalnaa waraa-a dhuHuurikum (“Dan kamu tinggalkan di belakangmu [di dunia] apa yang telah Kami karuniakan kepadamu.”) Yakni, berbagai kenikmatan dan harta benda yang telah dinikmati selama di dunia (kalian tinggalkan,-Ed-) di belakang kalian.
Dalam sebuah hadits Shahih disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
“Anak Adam berkata: `Hartaku… hartaku…’ Adakah harta yang kau miliki, melainkan apa yang telah engkau makan maka engkau telah habiskan, atau apa yang telah engkau pakai engkau telah jadikan usang, atau apa yang engkau telah sedekahkan maka engkau telah kekalkan, dan yang selain itu akan lenyap dan ditinggalkan untuk orang lain.”
Firman-Nya lebih lanjut: wa maa naraa ma’akum syufa’aa-akumul ladziina za’amtum annaHum fiiHi syurakaa-u (“Dan Kami tidak melihat beserta kamu pemberi syafa’at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Allah di antara kamu.”) (Yang demikian itu merupakan) hinaan dan celaan atas apa yang mereka jadikan di dunia ini sebagai sekutu berupa patung dan berhala, dengan beranggapan bahwa semua itu dapat memberikan manfaat dalam kehidupan dan pada hari kebangkitan mereka. Maka pada hari Kiamat kelak, terputuslah semua hubungan di antara mereka, hilanglah kesesatan dan lenyaplah apa yang dahulu mereka ada-adakan. Dan dikatakan kepada mereka yang artinya:
“Di manakah berhala-berhala yang dulu kamu selalu beribadah [kepadanya] selain Allah? Dapatkah mereka menolongmu atau menolong diri sendiri ?” (asy-Syu’araa’: 92-93)
Oleh karena itu, di sini Allah berfirman: wa maa naraa ma’akum syufa’aa-akumul ladziina za’amtum annaHum fiiHi syurakaa-u (“Dan Kami tidak melihat beserta kamu pemberi syafa’at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Allah di antara kamu.”)
Yaitu penyekutuan dalam ibadah kepada mereka, dan kalian membagi ibadah yang sebenarnya kepada mereka [berhala-berhala].
Selanjutnya Allah berfirman: laqad taqaththa’naa bainakum (“Sungguh telah terputuslah [pertalian] di antara kamu.”) ada yang membaca dengan rafa’ [harakat dlamah] yakni putusnya persatuan dan dibaca dengan nasab, yakni telah terputus semua pertalian di antara kalian baik itu sebab-sebab, hubungan dan sarana.
Wa dlalla ‘anHum (“Dan telah lenyap dari kamu”) yakni telah pergi dari kalian; maa kuntum taj’umuun (“apa yang dahulu kamu anggap [sebagai sekutu Allah].”) Yakni harapan yang ditujukan kepada berhala dan para sekutu.
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 91-92

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 91-92

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 91-92“91. dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: ‘Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.’ Katakanlah: ‘Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, Padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?” Katakanlah: ‘Allah-lah (yang menurunkannya),’ kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya. 92. dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara shalatnya.” (al-An’aam: 91-92)
Allah berfirman, bahwa mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenarnya, yaitu mereka mendustakan para Rasul yang diutus kepada mereka. Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan Abdullah bin Katsir mengatakan: “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kaum Quraisy.” Itu pula yang menjadi pilihan Ibnu Katsir.
Firman Allah: qul man anzalal kitaabal ladzii jaa-abiHii muusaa nuuraw wa Hudal linnaasi (“Katakanlah: ‘Siapakah yang menurunkan Kitab [Taurat] yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia.’”)
Maksudnya, hai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang yang ingkar terhadap penurunan sebuah kitab dari sisi Allah. Untuk menjawab ungkapan negatif dari mereka yang bersifat umum dengan menegaskan secara parsial ketetapan hukumnya:
man anzalal kitaabal ladzii jaa-abiHii muusaa (“‘Siapakah yang menurunkan Kitab [Taurat] yang dibawa oleh Musa’”) yaitu Taurat yang kalian dan juga setiap orang sudah mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya kepada Musa bin Imran, sebagai cahaya dan petunjuk bagi umat manusia, untuk mereka pergunakan sebagai penerang dalam mengungkap berbagai permasalahan, dan dijadikan sebagai petunjuk dari kegelapan syubhat.
Taj’aluunaHu qaraathiisa tubduunaHaa wa tukhfuuna katsiiran (“Kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan [sebagiannya] dan kamu sembunyikan sebagian besarnya.”)
Maksudnya kamu jadikan kitab itu secara keseluruhan sebagai kertas yang terpotong-potong yang kalian tulis di atas kitab asli yang ada di tangan kalian dengan melakukan perubahan-perubahan, pergantian dan penafsiran, serta mengatakan bahwa hal itu berasal dari sisi Allah, yaitu dalam kitab yang diturunkan itu, padahal hal itu bukan dari sisi Allah. Oleh karena itu Allah berfirman:
Taj’aluunaHu qaraathiisa tubduunaHaa wa tukhfuuna katsiiran (“Kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan [sebagiannya] dan kamu sembunyikan sebagian besarnya.”)
Lalu Allah berfirman: wa ‘ullimtum maa lam ta’lamuu antum wa laa aabaa-ukum (“Padahal telah diajarkan kepada kamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui[nya].”) maksudnya siapakah yang menurunkan al-Qur’an yang telah diajarkan oleh Allah Ta’ala kepada kalian, yang di dalamnya terdapat berita tentang hal-hal yang telah lalu dan berita tentang hal-hal yang akan datang, yang kalian dan juga nenek moyang kalian tidak mengetahuinya.
Qatadah mengatakan: “Mereka itu adalah orang-orang musyrik Arab.” Adapun Mujahid mengemukakan: “Yang demikian itu ditujukan kepada kaum Muslimin.”
QulillaaHu (“Katakanlah: ‘Allah,’”) Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu Abbas, “Maksudnya, katakanlah: ‘Allah yang menurunkannya.’” Dan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, itulah pendapat yang paling kuat dalam tafsir kalimat tersebut.
Tsumma dzarHum fii khaudliHim yal’abuun (“Kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.”) maksudnya biarkanlah mereka bermain-main dalam kebodohan dan kesesatan, sehingga Allah mendatangkan bukti nyata. Kelak mereka akan mengetahui apakah kesudahan yang baik itu milik mereka atau milik hamba-hamba Allah yang bertaqwa?
Wa Haadzaa kitaabun (“Dan ini adalah kitab”) yakni al-Qur’an.
anzalnaaHu mubaarakum mushaddiqul ladzii baina yadaiHi wa litundzira ummal quraa (“Yang telah Kami turunkan yang diberkahi, membenarkan Kitab-kitab yang [diturunkan] sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada [penduduk] Ummul Qura.”) yaitu Makkah.
Wa man haulaHaa (“Dan orang-orang yang di luar lingkungannya”) yaitu dari kalangan bangsa Arab dan berbagai kelompok anak cucu Adam, baik dari bangsa Arab maupun bukan Arab.
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan [al-Qur’an] kepada hamba-hamba-Nya agar dia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam.” (al-Furqaan: 1)
Dalam ash-Shahihain ditegaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Aku diberi lima hal yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku.”
Beliau diantaranya menyatakan:
“Dahulu seorang Nabi itu diutus kepada kaumnya secara khusus, sedangkan aku diutus kepada umat manusia secara umum.”
Oleh karena itu Allah berfirman: wal ladziina yu’minuuna bil aakhirati yu’minuuna biHi (“Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya.”) yaitu setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, pasti ia beriman kepada Kitab yang penuh berkah ini, yang diturunkan kepadamu, hai Muhammad, yakni al-Qur’an.
Wa Hum ‘alaa shalaatiHim yuhaafidhuun (“Dan mereka selalu memelihara shalatnya.”) maksudnya mereka senantiasa menjalankan kewajiban yang ditugaskan kepada mereka, yaitu menjalankan shalat tepat pada waktunya.
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 84-90

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 84-90

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 84-90“84. dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) Yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 85. dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. semuanya Termasuk orang-orang yang shaleh. 86. dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth. masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya), 87. dan Kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan dan saudara-saudara mereka. dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus. 88. Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. 89. mereka Itulah orang-orang yang telah Kami berikan Kitab, hikmat dan kenabian jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, Maka Sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya. 90. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran).” Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.” (al-An’aam: 84-90)
Allah menyebutkan bahwa Dia telah menganugerahkan Ishaq kepada Ibrahim setelah ia berusia lanjut dan setelah sebelumnya ia dan istrinya, Sarah, merasa berputus asa dari mendapatkan keturunan. Hal ini merupakan imbalan bagi Ibrahim as. ketika ia meninggalkan kaumnya serta hijrah dari negerinya dalam rangka beribadah kepada Allah di muka bumi. Allah menggantinya dengan anak keturunan yang shalih dari tulang sulbinya agar ia menjadi senang dan bahagia karenanya. Sebagaimana difirmankan Allah yang artinya:
“Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadahi selain Allah, Kami anugerahkan kepada-Nya Ishaq dan Ya’qub. Dan masing-masing dari keduanya Kami angkat menjadi Nabi.” (Maryam: 49)
Adapun dalam surat al-An’aam ini Allah berfirman: wa wahabnaa laHuu ishaaqa wa ya’quuba kulllan Hadainaa (“Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya’qub kepadanya. Kepada masing-masing keduanya telah Kami beri petunjuk.”)
Firman-Nya: wa nuuhan Hadainaa min qablu (“Dan kepada Nuh sebelum itu [juga] telah Kami beri petunjuk.”) yaitu Kami sudah memberikan petunjuk kepada Nuh sebelum Ibrahim. Sebagaimana Kami juga telah memberi petunjuk kepadanya [Ibrahim] dan Kami anugerahkan kepadanya keturunan yang shalih. Dan masing-masing dari keduanya mempunyai keistimewaan yang luar biasa.
Adapun Nuh as. adalah, ketika Allah menenggelamkan seluruh penghuni bumi kecuali orang-orang yang beriman kepadanya, dan mereka itulah yang menemaninya naik kapal, maka Allah menjadikan keturunannya sebagai orang-orang yang tetap hidup. Jadi seluruh manusia adalah berasal dari keturunannya. Adapun sang kekasih Allah, Ibrahim as., Allah tidak mengutus seorang Nabi pun kecuali dari keturunannya. Sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan keturunan pada keduanya kenabian dan al-Kitab.” (al-Hadiid: 26)
Adapun firman-Nya dalam surah ini: wa min dzurriyyatiHi (“Dan kepada sebagian dari keturunannya”) maksudnya Kami beri petunjuk juga kepada sebagian keturunannya; daawuuda wa sulaimaan (“yaitu Dawud dan Sulaiman”)
Dhamir [kata ganti] dalam penggalan ayat tersebut kembali kepada Nuh, karena ia orang yang paling dekat di antara orang-orang yang secara lahiriyah disebutkan dalam ayat tersebut dan tidak ada permasalahan dalam hal itu, itulah yang menjadi pilihan Ibnu Jarir.
Penyebutan ‘Isa as. dalam keturunan Ibrahim atau Nuh menurut pendapat lain merupakan dalil yang menunjukkan masuknya anak laki-laki dari keturunan seorang perempuan termasuk dalam keturunan orang laki-laki, karena ‘Isa as. dinasabkan kepada Ibrahim as. melalui ibunya, Maryam, karena ‘Isa tidak mempunyai bapak. Oleh karena itu jika seorang laki-laki berwasiat kepada keturunannya, atau mewakafkan atau menghibahkan kepada mereka, maka cucu laki-laki dari anak perempuan masuk dalam kategori mereka. adapun jika seseorang memberi sesuatu kepada putra-putranya atau mewakafkan kepada mereka, maka dengan demikian, dikhususkan untuk anak laki-lakinya saja dan cucu laki-laki dari anak laki-lakinya saja. sedangkan yang lainnya berpendapat, bahwa cucu laki-laki dari anak perempuan termasuk juga dalam kategori mereka. hal itu sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari, bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Hasan bin ‘Ali:
“Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid. Mudah-mudahan dengannya Allah akan mendamaikan antara dua kelompok besar dari kalangan kaum Muslimin.”
Dengan demikian, Rasulullah saw. menyebut Hasan bin ‘Ali “anak”, hal itu menunjukkan masuknya Hasan ke dalam golongan anak.
Pendapat yang lain mengatakan, bahwa hal ini dibolehkan.
Firman Allah selanjutnya: wa min aabaa-iHim wa dzurriyyaatiHim wa ikhwaaniHim (“[dan Kami lebihkan pula derajat] sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka, dan saudara-saudara mereka.”)
Allah menyebutkan pokok keturunan mereka, cabang, serta kerabat mereka, dan bahwa hidayah serta pemilihan [untuk menjadi Nabi] adalah mencakup mereka semua. oleh karena itu allah berfirman:
wajtabainaaHum wa HadainaaHum ilaa shiraathim mustaqiim (“Dan Kami telah memilih mereka [untuk menjadi Nabi-nabi dan Rasul-rasul] dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”)
dzaalika HudallaaHi yaHdii biHii may yasyaa-u min ‘ibaadiHi (“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.”) maksudnya hal itu diperoleh mereka karena taufiq dan hidayah Allah yang diberikan kepada mereka.
wa lau asyrakuu lahabitha ‘anHum maa kaanuu ya’maluun (“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.”) hal ini merupakan penekakan terhadap bahaya dan kejamnya pengaruh syirik. Sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada [Nabi-nabi] sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan [Allah], niscaya akan hapuslah amalmu.’” (az-Zumar: 65). Yang demikian itu merupakan syarat, dan syarat tersebut [yaitu syirik] tidak mesti terjadi. Sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Katakanlah: ‘Jika benar Allah Yang Mahapemurah mempunyai anak, maka akulah [Muhammad] orang yang mula-mula memuliakan [anak itu].’” (az-Zukhruf: 81)
Ulaa-ikal ladiina aatainaaHumul kitaaba wal hukma wan nubuwwata (“Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kepad mereka Kitab, hikmah [pemahaman agama] dan kenabian.”)
Maksudnya Kami anugerahkan hal itu kepada mereka sebagai rahmat bagi para hamba dan sebagai kelembutan Kami bagi semua makhluk.
Fa iy yakfur biHaa (“Jika mengingkarinya”) yaitu kenabian itu. Mungkin juga dlamir itu kembali kepada ketiga hal itu: kitab, hikmah, dan kenabian.
Haa-ulaa-i (“orang-orang itu”) yakni penduduk Makkah. Hal itu dikatakan oleh Ibnu Abbas, Said bin al-Musayyab, adh-Dhahhak, Qatadah, as-Suddi dan yang lainnya.
Faqad wakkalnaa biHaa qaumal laisuu biHaa bikaafiriin (“Maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-sekali tidak akan mengingkarinya.”) yaitu jika nikmat-nikmat itu diingkari oleh orang-orang Quraisy dan penduduk bumi lainnya baik dari bangsa Arab maupun bukan, dan juga Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani. Maka Kami telah menyerahkannya kepada kaum yang lain, yaitu kaum Muhajirin, Anshar dan para pengikutnya sampai hari kiamat.
Laisuu biHaa bikaafiriin (“kaum yang sekali-sekali tidak akan mengingkarinya”) maksudnya tidak mendustakannya sama sekali, serta tidak pula menolak satu huruf pun, tetapi mereka beriman kepadanya seluruhnya, baik yang muhkam maupun yang mutasyabih. Semoga Allah, dengan karunia, kemurahan, dan kebaikan-Nya, menjadikan kita termasuk golongan mereka.
Selanjutnya Allah berfirman, ditujukan kepada hamba dan Rasul-Nya, Muhammad saw: ulaa-ika (“Mereka itulah”) yaitu para Nabi yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas beserta nenek moyang, keturunan, dan saudara-saudara mereka.
Alladziina HadallaaHu (“Orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah”) maksudnya, mereka itulah orang-orang yang memperoleh petunjuk dan bukan yang lainnya.
Fa biHudaa HumuqtadiH (“Maka ikutilah petunjuk mereka”) artinya, ikutilah jejak mereka. jika yang demikian itu merupakan perintah bagi Rasulullah saw., umatnya pun termasuk di dalamnya, yaitu mengenai syariat dan perintah yang diberikan kepadanya.
Berkenaan dengan ayat ini, al-Bukhari mengatakan, Sulaiman al-Ahwal memberitahukan kepadanya, Mujahid memberitahukannya, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apakah dalam surah Shaad terdapat sujud [sujud tilawah]?” Maka ia menjawab, “Ya.” Kemudian Ibnu Abbas membaca firman-Nya: wa wahabnaa laHuu ishaaqa wa ya’quuba…. fa biHudaa HumuqtadiH (“Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya’qub kepadanya….. maka ikutilah petunjuk mereka”) selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan: “Ia [Muhammad] termasuk dari mereka itu.”
Qul laa as-alukum ‘alaiHi ajran (“Katakanlah: ‘Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan [al-Qur’an].’”) maksudnya, aku tidak minta upah kepada kalian atas penyampaian al-Qur’an yang kulakukan terhadap kalian, bahkan aku sama sekali tidak meminta sesuatu pun dari kalian.
In Huwa illaa dzikraa lil ‘aalamiin (“al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi segala umat.”) yakni mereka mengambil pelajaran dari al-Qur’an sehingga mereka bisa memperoleh petunjuk dari kebutaan menuju kepada hidayah, dari kesesatan menuju jalan petunjuk, dan dari kekufuran menuju kepada keimanan.
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 80-83

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 80-83

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 80-83“80. dan Dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: ‘Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, Padahal Sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku.’ dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka Apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) ?’ 81. bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), Padahal kamu tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukanNya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui? 82. orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. 83. dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.” (al-An’aam: 80-83)
Allah mengabarkan tentang kekasih-Nya, Ibrahim, ketika pendapatnya tentang ketauhidan dibantah oleh kaumnya dan mereka menyanggah dengan pendapat yang keliru, dimana ia berkata:
A tuhaajjuunnii fillaaHi wa qad Hadaan (“Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku.”) maksudnya kalian membantahku tentang Allah, sedang Allah tiada ilah [yang haq] selain Dia. Allah telah memperlihatkan kepadaku dan menunjukkanku kepada kebenaran, sedang aku berpegang pada penjelasan dari-Nya. Lalu bagaimana mungkin aku akan berpaling kepada pendapat kalian yang rusak dan keraguan kalian yang bathil.
Firman-nya: walaa akhaafu maa tusyrikuuna biHii illaa ay yasyaa-a rabbii syai-an (“Dan aku tidak takut kepada [malapetaka dari] ilah-ilah yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali dikala Rabbku menghendaki sesuatu [dari malapetaka] itu.”)
Maksudnya, di antara bukti kesalahan pendapat kalian itu adalah ilah-ilah yang kalian sembah itu tidak dapat memberikan pengaruh sama sekali dan aku tidak takut dan tidak pula mempedulikannya. Jika ia dapat melakukan tipu daya, biarlah ia memperdayaku. Jangan kalian tunda-tunda lagi, segerakanlah hal itu padaku.
Firman-Nya: illaa ay yasyaa-a rabbii syai-an (“kecuali di kala Rabbku menghendaki sesuatu [dari malapetaka] itu.”) yang demikian itu merupakan istisna’ munqathi’. Artinya tidak ada yang dapat memberikan mudlarat dan manfaat kecuali Allah.
Wasi’a rabbii kulli syai-in ‘ilman (“Pengetahuan Rabbku meliputi segala sesuatu”) maksudnya, ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu, sehingga tidak ada yang tersembunyi dari-Nya.
A falaa tatadzakkaruun (“Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran [darinya]?”) yaitu dari berbagai hal yang telah kujelaskan kepada kalian. Tidakkah kalian mengetahui bahwa ilah-ilah itu adalah bathil, sehingga kalian terhindar dari peribadatan terhadapnya.
Firman Allah selanjutnya: wa kaifa akhaafu maa asyraktum (“Bagaimana aku takut kepada ilah-ilah yang kamu persekutukan [dengan Allah]?”) bagaimana mungkin aku akan takut kepada berhala-berhala yang kalian sembah selain Allah?
Wa laa takhaafuuna anna kum asyraktum billaaHi maa lam yunazzil biHii ‘alaikum sutlhaanan (“Padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan ilah-ilah yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya.”)
Ibnu Abbas dan ulama salaf lainnya mengatakan: “Kata sulthaanan dalam penggalan ayat ini berarti hujjah.” Hal ini adalah sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Apakah mereka mempunyai ilah-ilah selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (asy-Syuura: 21)
Firman-Nya selanjutnya: fa ayyul fariiqaini a haqqu bil amni in kuntum ta’lamuun (“Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan [dari malapetaka], jika kamu mengetahui?”)
Maksudnya, kelompok manakah yang lebih benar: apakah kelompok yang beribadah kepada Allah yang di Tangan-Nya terdapat mudharat dan manfaat, ataukah yang beribadah kepada dzat yang tidak dapat memberikan mudlarat dan manfaat dan tanpa dalil ? Manakah di antara dua kelompok tersebut yang lebih aman dari adzab Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya pada hari kiamat kelak ?
Allah berfirman: alladziina aamanuu wa lam yalbisuu iimaanaHum bidhulmin ulaa-ika laHumul amnu wa Hum muHtaduun (“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedhaliman [syirik], mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”)
Maksudnya, mereka itulah orang-orang yang mengikhlaskan ibadahnya hanya kepada Allah semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan mereka juga tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mereka itulah orang-orang yang pada hari kiamat kelak akan mendapat keamanan dan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.
Al-Bukhari berkata dari Abdullah, ia mengatakan: “Ketika turun ayat: alladziina aamanuu wa lam yalbisuu iimaanaHum bidhulmin (“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedhaliman [syirik],”) maka para shahabat berkata: ‘Siapakah di antara kita yang tidak berbuat dhalim pada dirinya sendiri [berbuat dosa]?’ maka turunlah ayat: innasy-syirka ladhulmun ‘adhiim (“Sesungguhnya syirik itu benar-benar merupakan kedhaliman yang besar.”) (Luqman: 13).”
Firman-Nya selanjutnya: wa tilka hujjatunaa aatainaaHaa ibraaHiima ‘alaa qaumiHii (“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.”) maksudnya Kami arahkan hujjahnya untuk menghadapi mereka.
Mujahid dan ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan hal itu adalah firman-Nya: wa kaifa akhaafu maa asyraktum Wa laa takhaafuuna anna kum asyraktum billaaHi (“Bagaimana aku takut kepada ilah-ilah yang kamu persekutukan [dengan Allah]? Padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah.”)
wa tilka hujjatunaa aatainaaHaa ibraaHiima ‘alaa qaumiHii narfa’u darajaatim man nasyaa-u (“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat.”)
Ayat di atas bisa dibaca dengan menggunakan idhafah dan bisa juga tidak menggunakannya, sebagaimana yang terdapat dalam surat Yusuf, da makna keduanya mempunyai kedekatan.”
Inna rabbaka hakiimun ‘aliim (“Sesungguhnya Rabbmu Mahabijaksana lagi Mahamengetahui.”) maksudnya, Dia Mahabijaksana dalam ucapan dan perbuatan-Nya. ‘Aliim (“Mahamengetahui”) maksudnya siapa-siapa yang diberi-Nya petunjuk dan siapa-siapa pula yang disesatkan-Nya.

Kategori

Kategori