Hadits Arba’in ke 5: Menolak Kemungkaran dan Bid’ah

Hadits Arba’in ke 5: Menolak Kemungkaran dan Bid’ah

Hadits Arbain nomor 5 (Kelima)
Ummul Mukminin, Ummu Abdillah, ‘Aisyah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mendatangkan hal baru dalam urusan agama yang tidak termasuk bagian darinya [tidak ada dasar hukumnya] maka tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim)
Riwayat Muslim menyebutkan, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa melakukan amalan, tanpa didasari perintah kami, maka tertolak.”
Kandungan hadits:
1. Islam dilakukan dengan cara ittiba’ [mengikuti], bukan ibtida’ [mencipatakan]. Melalui hadits ini Rasulullah saw. menjaga kemurnian Islam dari tangan orang-orang yang melampaui batas. Hadits ini merupakan jawami’ul kalim [singkat namun penuh makna], yang mengacu kepada berbagai nash al-Qur’an yang menyatakan bahwa keselamatan seseorang hanya akan didapat dengan mengikuti petunjuk Raulullah saw. tanpa menambah atau mengurangi, sebagaimana disebutkan dalam firman Allaha: “Katakanlah wahai Muhammad, ‘Jika kalian semua mencintai Allah maka ikutilah aku, tentu Allah akan mencintai kalian.” (Ali Imraan: 31) juga dalam firman Allah: “Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan [yang sesat] karena dapat mencerai-beraikan kalian dari jalan-Ku.” (al-An’am: 153)
2. Berbagai perbuatan yang tertolak. Hadits ini merupakan dasar yang jelas bahwa semua perbuatan yang tidak didasari oleh perintah syar’i adalah tertolak. Hadits ini juga menunjukkan bahwa semua perbuatan, baik yang berhubungan dengan perintah maupun larangan terikat dengan hukum syara’. Karenanya, sungguh sangat sesat perbuatan yang keluar dari koridor yang telah ditentukan oleh syara’, seolah-olah perbuatanlah yang menghukumi syara’ dan bukan syara’ yang menghukumi perbuatan. Karena itu setiap muslim wajib menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut [yang ada di luar koridor syara’] adalah bathil dan tertolak. Perbuatan-perbuatan yang ada di luar koridor syara’ ini terbagi dua, dalam ibadah dan muamalah.
a. Dalam ibadah. Jika ibadah yang dilakukan seseorang keluar dari hukum syara’, maka perbuatan tersebut tertolak. Ini termasuk dalam firman Allah swt., “Apakah mereka mempunyai sekutu, yang membuat peraturan [dalam agama] bagi mereka, yang Allah tidak mengizinkannya.” (asy-Syura: 21).
Contohnya mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengar nyanyian, menari, melihat wanita atau berbagai perbuatan lainnya yang tidak berdasarkan syara’. Mereka inilah orang-orang yang dibutakan hatinya oleh Allah hingga tidak bisa melihat kebenaran bahkan kemudian selalu mengikuti langkah-langkah setan. Mereka mengklaim bahwa mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah melalui kesesatan yang mereka ciptakan. Mereka ini tidak jauh berbeda dengan orang-orang Arab jahiliyyah yang menciptakan satu bentu ibadah dan pendekatan diri kepada Allah, sedangkan Allah tidak menurunkannya. Allah swt. berfirman, “Ibadah mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakan azab disebabkan karena kekafiranmu.” (al-Anfal: 35)
Kadang, orang menyangka bahwa jika dengan melakukan ibadah bisa mendekatkan diri kepada Allah, maka pendekatana tersebut juga bisa dilakukan dengan perbuatan yang lain. Sebagai contoh, dimana Nabi Muhammad ada orang yang berpuasa sambil berdiri di bawah sengatan terik matahari. Ia tidak duduk dan tidak berteduh. Lalu Rasulullah saw. menyuruhnya untuk duduk dan berteduh sambil terus menyempurnakan puasanya.
b. Mu’amalah.
Sama halnya dalam ibadah, jika tidak ada dasar syar’i, maka amalan [yang berkenaan dengan mu’amalah] yang dilakukan seseorang batal dan tertolak. Ini didasarkan oleh kejadian pada masa Rasulullah saw. Suatu saat ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw. dan menginginkan agar hukuman zina diubah dengan denda, maka Rasulullah menolaknya. Lebih lengkapnya kejadian tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam sebuah hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. kedatangan seseorang. Orang tadi berkata: “Anakku bekerja pada si fulan, lalu berzina dengan istrinya. Saya telah membayar denda sebanyak seratus kambing dan seorang pembantu.” Mendengar penuturannya Rasulullah saw. bersabda: “Seratus kambing dan pembantu dikembalikan kepadamu dan hukuman bagi anakmu seratus kali cambukan dan diasingkan selama setahun.”
Demikian juga semua akad [transaksi] yang dilarang oleh syara’, atau dua orang yang melakukan akad mengabaikan salah satu rukun atau syarat akad maka akad tersebut batal dan tertolak. Permasalah ini, secara rinci bisa dibaca di buku-buku fiqih.
3. Perbuatan yang diterima
Dalam kehidupan ada perkara-perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syariat. Bahkan sesuai atau cenderung bertentangan dengan syariat. Bahkan sesuai atau cenderung didukung dasar-dasar syara’. Maka perkara-perkara tersebut diterima. Para Shahabat banyak mencontoh hal ini. Seperti pengumpulan al-Qur’an di masa Abu Bakar, penyeragaman [bacaan] al-Qur’an di masa Utsman bin Affan dengan mengirimkan salinan-salinan mushaf ke berbagai penjuru disertai para qari’.
Contoh lain, penulisan ilmu nahwu, tafsir, sanad hadits dan sebagai ilmu lainnya, baik teori maupun yang bersifat empiris yang sangat bermanfaat bagi manusia, dan dapat mendorong terwujudnya pelaksanaan hukum Allah di muka bumi.
4. Bid’ah yang tercela dan bid’ah yang terpuji
Dari uraian di atas bisa kita tarik kesimpulan bahwa perkara-perkara yang sifatnya baru dan bertentangan dengan syara’, maka perkara tersebut tergolong bid’ah yang tercela dan sesat. Namun perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syariat bahkan sesuai dan didukung oleh syariat, maka perkara tersebut baik dan sifatnya fardlu kifayah. Karena itulah Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Apa-apa yang sengaja dibuat dan tidak sesuai dengan al-Qur’an atau Sunah ataupun ijma’, maka perkara tersebut masuk dalam katagori bid’ah yang sesat. Apa-apa yang sengaja diciptakan dan bersifat baik juga tidak betentangan dengan syara’ maka masuk dalam katagori bid’ah yang baik.”
Bid’ah yang sesat pun berfariasi, ada yang makruh dan ada yang haram, tergantung bahaya yang ditimbulkan dan ketidaksesuaiannya dengan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam melakukan perbuatan bid’ah tersebut seseorang bisa terjerumus dalam kekufuran dan kesesatan, misalnya: orang yang bergabung dengan aliran sesat, yang mengingkari wahyu dan syariat Allah, mengajak untuk menerapkan hukum buatan manusia, menuduh penerapan hukum Allah merupakan keterbelakangan. Atau orang yang bergabung dengan jama’ah-jama’ah sufi, yang meremehkan berbagai kewajiban atau mempunyai paham wihdatul wujud atau hulul [manunggaling kawula gusti] dan berbagai perilaku sesat lainnya.
Termasuk bid’ah sayi’ah atau sesat adalah pengagungan suatu benda dan minta keberkahan kepada benda tersebut, dengan keyakinan bahwa benda tersebut, dengan keyakinan bahwa benda yang dia agungkan bisa memberi manfaat, misalnya: mengagungkan pohon, batu, atau kuburan. Pernah suatu saat para shahabat lewat di samping pohon bidara yang diagung-agungkan orang musyrik. Para shahabat berkata: “Ya Rasulallah, biarkanlah kami mempunyai gantungan [senjata] sebagaimana mereka orang musyrik mempunyai gantungan.” Rasulullah bersabda: “AllaHu akbar, ini seperti yang dikatakan kaumnya Musa: ‘Buatkanlah kamu tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan.’” Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian adalah kaum yang tidak mengerti dan pasti kalian akan mengikuti kaum sebelum kalian.”
5. Kami sengaja menyebutkan hadits kedua: “Barangsiapa melakukan amalan yang tidak didasari perintah kami, maka ia tertolak.” Karena sebagian ahli bid’ah membantah hadist pertama “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam perkara [ibadah] yang tidak ada dasar hukumnya maka ia tertolak.” Dengan argumen mereka, “Kami tidak pernah menciptakan hal baru. Apa yang kami lakukan telah kami dapatkan dari orang-orang sebelum kami.”
Maka dengan menyebutkan hadits kedua ini, argumentasi mereka tidak bernilai.
6. Dari hadits di atas bisa kita pahami bahwa barangsiapa yang mereka-reka satu amalan, maka dosanya ia sendiri yang menanggung dan amalan tersebut tertolak.
7. Setiap larangan cenderung pada dampak kerusakan.
8. Agama Islam sangat sempurna tidak ada satu kekuranganpun, tidak perlu ditambah-tambah lagi atau dikurangi.
Hadits Arbain ke 4 (empat); Tahapan Penciptaan Manusia (1)

Hadits Arbain ke 4 (empat); Tahapan Penciptaan Manusia (1)

Hadits Arbain nomor 4 (Keempat)
Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, Rasulullah saw. yang jujur dan terpercaya bersabda kepada kami, “Sesungguhnya penciptaan kalian dikumpulkan dalam rahim ibu, selama empat puluh hari berupa nuthfah (sperma), lalu menjadi alaqah (segumpal darah) selama itu pula, lalu menjadi mudlghah (segumpal daging) selam itu pula. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh dan mencatat 4 (empat) perkara yang telah ditentukan, yaitu: rizky, ajal, amal dan sengsara atau bahagianya.
Demi Allah, Dzat yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya ada di antara kalian yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni surga sehingga jarak antara dia dengan surga hanya sehasta (dari siku ke ujung jari), namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni neraka, maka ia pun masuk neraka.
Ada juga yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni neraka hingga jarak antara dia dan neraka hanya sehasta. Namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni surga maka ia pun masuk surga.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kandungan Hadits
1. Tahapan perkembangan janin
Hadits ini menjelaskan bahwa selama seratus dua puluh hari, janin mengalami tiga kali perkembangan. Perkembangan tersebutg setiap empat puluh hari. Empat puluh hari pertama janin masih berbentuk nuthfah. Empat puluh hari berikutnya berbentuk gumpalan darah. Empat puluh hari berikutnya menjadi segumpal daging. Setelah seratus dua puluh hari, malaikat meniupkan ruh ke dalamnya, dan ditetapkan bagi janin tersebut empat ketentuan di atas.
Perkembangan janin ini disebutkan juga di dalam al-Qur’an. Allah swt. berfirman: “Wahai sekalian manusia, jika kalian ragu-ragu terhadap hari kebangkitan, maka [ingatlah] sesungguhnya Aku telah menciptakanmu dari tanah, lalu dari setetes air, kemudian menjadi segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging.” (al-Hajj: 5)
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (al-Mukminun: 12-14)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan empat tahapan penciptaan manusia yang ada dalam hadits di atas dan menambah tiga tahapan yang lain. Sehingga menjadi tujuh tahapan. Ibnu Abbas ra. berkata: “Anak Adam diciptakan melalui tujuh tahapan.” Lalu ia membaca ayat di atas.
Hikmah diciptakannya manusia secara bertahap, padahal sebenarnya Allah mampu untuk menciptakan secara langsung dan dalam waktu yang singkat, adalah untuk menyesuaikan dengan sunatullah yang berlaku di alam semesta. Semuanya berjalan sesuai hukum sebab akibat. Semua itu justru menandakan kekuasaan Allah yang sangat besar. Hikmah lainnya adalah, agar manusia berhati-hati dalam melakukan segala urusannya, tidak terburu-buru. Juga mengajarkan kepada manusia bahwa untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan sempurna, baik dalam masalah-masalah batin maupun dhahir, adalah melakukannya dengan hati-hati dan bertahap.
2. Peniupan Ruh
Para ulama sepakat bahwa ruh ditiupkan pada janin ketika janin berusia seratus dua puluh hari, terhitung sejak bertemunya sel sperma dan ovum. Artinya, peniupan tersebut ketika janin berusia empat bulan penuh, masuk bulan ke lima. Pada masa inilah segala hukum mulai berlaku padanya. Karena itu wanita yang ditinggal mati oleh suaminya menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari, untuk memastikan bahwa ia tidak hamil dari suaminya yang meninggal, agar tidak menimbulkan keraguan ketika ia menikah lagi lalu hamil.
Ruh adalah sesuatu yang membuat manusia hidup. Ini sepenuhnya urusan Allah swt. sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya, “Dan mereka bertanya tentang ruh. Katakanlah, hai Muhammad, bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sangat sedikit.” (al-Isra’: 85)
3. Larangan Aborsi
Para ulama sepakat bahwa aborsi setelah ruh ditiupkan ke dalam janin adalah haram. Mereka malah menganggap bahwa aborsi adalah tindak pidana yang tidak boleh dilakukan seorang muslim, karena merupakan bentuk kejahatan terhadap manusia dalam bentuknya yang utuh. Karenanya jika dalam melakukan aborsi, janin keluar dalam keadaan hidup kemudian mati, maka dikenakan diyat (denda yang sudah ditentukan ukurannya). Jika keluar dalam keadaan mati maka dendanya lebih ringan.
Hukum ini juga berlaku untuk aborsi sebelum masa peniupan ruh. Setidaknya ini adalah pendapat hampir seluruh ulama. Karena penciptaan manusia pada dasarnya dimulai sejak sperma membuahi sel telur (ovum) sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadits Nabi, “Ketika nuthfah sudah berusia empat puluh dua hari, maka Allah mengutus malaikat untuk membentuknya, menciptakan telinga, mata, kulit, daging dan tulangnya.”
Dalam kitab Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam karya Ibnu Rajab, halaman 42 disebutkan bahwa wanita dibolehkan melakukan aborsi selama ruh belum ditiupkan pada janin, ia beralasan bahwa hal itu seperti azal (mengeluarkan alat kelamin laki-laki dari alat kelamin perempuan saat ejakulasi). Namun ini adalah pendapat yang lemah. Karena janin adalah cikal bakal anak, bahkan mungkin sudah terbentuk. Sedangkan dalam azal anak sama sekali belum ada, karena sel sperma tidak bertemu sel telur.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, karya al-Ghazali jilid 2 halaman 51, disebutkan : “Azal tidak sama dengan aborsi atau mengubur bayi hidup-hidup. Karena aborsi merupakan kejahatan terhadap sesuatu yang sudah ada. Kehidupan itu sendiri mempunyai beberapa tahapan. Tahap pertama, adalah bertemunya sel sperma dan ovum dalam rahim. Maka merusak hal tersebut adalah kejahatan. Jika telah berubah menjadi segumpal darah maka tingkat kejahatannya bertambah berat. Apabila sudah menjadi segumpal daging dan telah ditiupkan ruh, maka kejahatan itu semakin bertambah berat. Kemudian kejahatan yang paling berat adalah ketika janin tersebut telah lahir menjadi bayi yang bernyawa.
(bersambung ke bagian 2)
Hadits Arbain ke 3: Rukun Islam

Hadits Arbain ke 3: Rukun Islam

Hadits Arbain nomor 3 (Ketiga)
Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab ra. berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Islam dibangun di atas lima (pondasi): 1) persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah. 2) melaksanakan shalat. 3) mengeluarkan zakat. 4) haji ke Baitullah. 5) puasa Ramadlah.” (HR Bukhari dan Muslim)

Kandungan Hadits:
1. Bangunan Islam
Dalam hadits ini Rasulullah saw. mengilustrasikan Islam dalam sebuah bangunan yang tertata rapi. Tegak di atas fondasi-fondasi yang kokoh. Fodasi-fondasi tersebut adalah:
a. Dua kalimat syahadat. Kesaksian tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah utusan Allah. Artinya, mengakui adanya Allah yang Tunggal, dan membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad saw. Rukun ini ibarat fondasi bagi rukun-rukun yang lain. Nabi Muhammad saw. bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwasannya Muhammad adalah Rasulullah.” (HR Bukhari dan Muslim). Beliau juga bersabda: “Barangsiapa yang menyatakan tidak ada Tuhan selain Allah dengan penuh keikhlasan, maka ia masuk surga.” (HR al-Bazzar)
b. Menegakkan shalat, artinya senantiasa menunaikan shalat pada waktunya dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, juga memperhatikan segala adab dan sunah-sunahnya, sehingga dapat memberikan manfaat kepada seorang muslim, yaitu meninggalkan segala perbuatan keji dan munkar. Allah swt. berfirman: “Dan tegakkanlah shalat, sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.” (al-Ankabut: 45)
c. Menunaikan zakat. Yaitu memberikan bagian tertentu dari harta yang dimiliki kepada mustahik (orang-orang yang berhak menerima zakat), ketika harta tersebut telah mencapai nishab (batas minimal wajib zakat) dan telah terpenuhi berbagai syarat wajib zakat. Ketika memberikan sifat bagi orang-orang mukmin, Allah swt. berfirman:
“Dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (al-Mukminun: 4)
“Dan orang-orang yang dalam hartanya terdapat hak yang jelas, bagi orang miskin yang meminta-minta dan tidak mau meminta-minta.” (al-Ma’aarij: 24-25)
Zakat merupakan ibadah yang berhubungan dengan harta benda. Melalui zakat akan tercipta keseimbangan sosial, terhapusnya kemiskinan, terjalinnya kasih sayang, dan saling menghargai sesama muslim.
d. Haji
Haji adalah pergi ke Baitullah di Makkah al-Mukarramah pada bulan-bulan haji, yaitu Syawwal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Haji dilakukan dengan menjalankan semua manasik (amalan-amalan dalam ibdah haji) yang telah diajarkan Rasulullah saw.
Haji merupakan ibadah yang berhubungan dengan harta dan jiwa, yang membawa berbagai dampak positif bagi individu dan masyarakat. Bahkan merupakan Muktamar Islam Internasional, dimana umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkesempatan untuk bertemu dan saling mengenal. Allah swt. berfirman:
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (al-Hajj: 27-28)
Karenanya, pahala haji sangat besar. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada pahala bagi haji mabrur kecuali surga.”
Ibadah haji diwajibkan pada tahun ke 6 H, melalui firman Allah: “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu [bagi] orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah…” (Ali Imraan: 97)
e. Puasa Ramadlan
Puasa Ramadlan diwajibkan pada tahun ke 3 Hijriyah, melalui firman Allah: “Bulan Ramadlan adalah bulan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda [antara kebenaran dan kebathilan]. Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang masuk bulan [Ramadlan] maka puasalah…” (al-Baqarah: 185)
Puasa merupakan ibadah yang dapat mensucikan jiwa, membersihkan hati, dan menyehatkan tubuh. Barangsiapa yang berpuasa karena semata-mata menjalankan perintah Allah dan mencari keridlaan-Nya, maka puasa itu akan menghapus dosa-dosanya dan menjadi sarana untuk mendapatkan surga. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadlan karena keimanan dan demi mencari pahala, maka dosa-dosa masa lalunya akan diampunkan.”
2. Rukun-rukun Islam merupakan kesatuan yang paling terkait
Barangsiapa yang melaksanakan rukun-rukun tersebut secara utuh ialah seorang muslim yang sempurna imannya. Barangsiapa yang meninggalkan keseluruhannya, ia adalah kafir. Barangsiapa yang mengingkari salah satu darinya, ia bukanlah orang muslim. Barangsiapa yang meyakini keseluruhan, namun mengabaikan salah satunya –selain dua kalimat syahadat- karena malas, ia adalah orang fasik. Barangsiapa yang melaksanakan keseluruhannya dan juga mengakui secara lisan namun hanya kepura-puraan, ia adalah orang munafik.
3. Tujuan ibadah
Ibadah dalam Islam bukanlah sekedar bentuk kegiatan fisik. Lebih dari itu, ibadah mempunyai tujuan yang mulia. Shalat misalnya, tidak akan berguna jika orang yang melakukan shalat tidak meninggalkan perbuatan keji dan munkar. Puasa, tidak akan bermanfaat ketika orang yang melakukan puasa tidak meninggalkan perbuatan dusta. Haji atau zakat tidak akan diterima jika dilakukan hanya karena ingin dipuji orang lain. Meskipun demikian, bukan berarti ketika tujuan dan buah tersebut belum tercapai, ibadah boleh ditinggalkan. Dalam kondisi seperti ini seseorang tetap berkewajiban untuk menunaikannya seikhlas mungkin dan senantiasa berusaha mewujudkan tujuan dari ibadah yang dilakukan.
4. Cabang-cabang Iman
Perkara-perkara yang disebutkan dalam hadits di atas bukanlah keleluruhan masalah yang ada dalam Islam. Penyebutan dalam hadits ini hanya terbatas pada perkara-perkara di atas, menginngat urgensi perkara-perkara tersebut. Karena masih banyak perkara-perkara lain dalam Islam yang tidak disebutkan. Rasulullah saw. bersabda: “Iman mempunyai cabang hingga tujuh puluh lebih.” (Muttafaq alaih)
5. Melalui hadits ini kita bisa memahami bahwa Islam adalah aqidah (keyakinan) dan perbuatan. Karenanya, amal perbuatan akan sia-sia tanpa adanya iman, dan iman tidak bermakna tanpa adanya amal perbuatan.
Hadits Arbain ke 2 (dua): Islam, Iman dan Ihsan

Hadits Arbain ke 2 (dua): Islam, Iman dan Ihsan

Hadits Arbain nomor 2  (Kedua)
Umar bin al-Kaththab ra berkata: Suatu hari kami duduk dekat Rasulullah saw., tiba-tiba muncul seorang laki-laki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya hitam legam. Tak terlihat tanda-tanda bekas perjalanan jauh, dan tak seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Ia duduk di depan Nabi, lututnya ditempelkan di lutut beliau, dan kedua tangannya diletakkan di paha beliau, lalu berkata: “Hai Muhammad. Beritahu aku tentang Islam.” Rasulullah saw. menjawab: “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadlan dan menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau mampu.” Laki-laki itu berkata: “Benar.” Kami heran kepadanya; bertanya tetapi setelah itu membenarkan jawaban Nabi?!
Ia bertanya lagi: “Beritahu aku tentang iman.” Nabi menjawab: “Iman itu engkau beriman kepada Allah , malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir dan takdir, yang baik atau yang buruk.” Ia berkata: “Benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahu aku tentang Ihsan.” Nabi menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Laki-laki itu berkata lagi: “Beritahu aku kapan terjadinya kiamat.” Nabi menjawab: “Yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi: “Beritahu aku tanda-tandanya.” Nabi menjawab: “Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya, orang yang bertelanjang kaki dan tidak memakai baju (orang miskin), dan penggembala kambing saling berlomba mendirikan bangunan megah.” Kemudian laki-laki itu pergi. Aku diam beberapa waktu. Setelah itu Nabi bertanya kepadaku: “Hai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya tadi? Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Dia itu Jibril, datang untuk mengajarkan Islam kepada kalian.” (HR Muslim)
Urgensi Hadits;
Ibnu Daqiq al-‘Id berkata; “Hadits ini sangat penting, meliputi semua amal perbuatan, yang dhahir dan yang batin, bahkan semua ilmu syariat mengacu kepadanya, karena semua hal yang ada dalam semua hadits, bahkan seakan menjadi Ummus Sunnah (induk bagi hadits), sebagaimana surah al-Fatihah disebut Ummul Qur’an karena ia mencakup seluruh nilai-niali yang ada dalam al-Qur’an.
Hadits ini mutawathir karena diriwayatkan dari 8 shahabat: Abu Hurairah ra., Umar ra., Abu Dzar ra., Anas ra., Ibnu ‘Abbas ra., Ibnu Umar ra., Abu ‘Amir, al-Asy’ari dan Jarir al-Bajali ra.
Fiqhul Hadits (Kandungan Hadits)
1. Memperbaiki pakaian dan penampilan
Ketika hendak masuk masjid dan hendak menghadiri majelis ilmu, disunnahkan memakai pakaian yang rapi, bersih dan memakai minyak wangi. Bersikap baik dan sopan di majelis ilmu dan di hadapan para ulama adalah perilaku yang sangat baik, karena Jibril saja datang kepada Nabi Muhammad saw. dengan penampilan dan sikap yang baik.
2. Definisi Islam
Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya pada Allah swt. secara terminologi adalah agama yang dilandasi oleh lima dasar yaitu: 1) syahadatain. 2) menunaikan shalat wajib pada waktunya dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang sunnah. 3) mengeluarkan zakat. 4) puasa di bulan Ramadlan. 5) Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.
3. Secara etimologi, iman berarti pengakuan atau pembenaran. Secara terminologi, berarti pembenaran dan pengakuan yang mendalam akan:
a. Adanya Allah swt. Pencipta alam semesta yang tidak mempunyai sekutu apapun.
b. Adanya makhluk Allah swt. yang bernama malaikata. Mereka adalah hamba Allah yang mulia, tidak pernah melakukan maksiat dan selalu menurut perintah-Nya. Mereka diciptakan dari cahaya, tidak makan, tidak berjenis kelamin, tidak mempunyai keturunan dan tidak ada yang tahu jumlahnya kecuali Allah swt.
c. Adanya kitab-kitab samawi yang diturunkan Allah swt. dan meyakini bahwa kitab-kitab tersebut (sebelum diubah dan diselewengkan manusia) merupakan syariat Allah.
d. Adanya rasul-rasul yang telah diutus Allah, yang dibekali dengan kitab samawi sebagai perantara untuk memberikan hidayah kepada umat manusia. Meyakini bahwa mereka adalah manusia biasa yang diistimewakan dan ma’shum (terjaga dari segala dosa).
e. Adanya hari akhir, pada hari itu Allah membangkitkan manusia dari kuburnya, lalu diperhitungkan seluruh amal perbuatannya. Amal perbuatan yang baik akan dibalas dengan kebaikan dan amal perbuatan buruk akan dibalas dengan keburukan.
f. Adanya qadla dan qadar. Artinya apapun yang terjadi pada alam semesta ini merupakan ketentuan dan kehendak Allah semata, untuk satu tujuan yang hanya diketahui-Nya.
Inilah rukun-rukun Iman. Siapapun yang meyakini, maka ia akan selamat dan beruntung dan barangsiapa yang menentangnya maka ia tersesat dan merugi. Allah swt. berfirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (an-Nisaa’: 36)
4. Islam dan Iman;
Melalui penjelasan di atas kita pahami bahwa Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda, secara etimologi maupun secara terminologi. Pada dasarnya, jika berbeda nama tentu berbeda makna. Meskipun demikian, tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama, Islam berarti Iman dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman menjadi sia-sia tanpa Islam, demikian juga sebaliknya.
5. Definisi Ihsan;
Ihsan adalah ikhlash dan pernuh perhatian. Artinya sepenuhnya ikhlas untuk beribadah hanya kepada Allah dengan penuh perhatian sehingga seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika tidak mampu maka ingatlah bahwa Allah senantiasa melihatmu dan mengetahui apapun yang ada pada dirimu.
6. Hari kiamat dan tanda-tandanya;
Tibanya hari kiamat adalah rahasia Allah. Tidak ada satupun makhluk yang mengetahuinya, baik malaikat maupun rasul. Karenanya, Nabi saw. bersabda kepada Jibril: “Tidaklah yang ditanya lebih tahu daripada yang bertanya.” Meskipun demikian, Nabi Muhammad saw. menjelaskan sebagian tanda-tandanya, antara lain:
a. Krisis moral, sehingga banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya, mereka memperlakukan orang tuanya seperti perlakuan terhadap budaknya.
b. Kehidupan yang jungkir balik. Banyak orang bodoh menjadi pemimpin, pemberian wewenang kepada orang yang tidak mempunyai kemampuan, harta melimpah, manusia banyak yang berlaku sombong dan foya-foya, bahkan mereka berlomba dan saling meninggikan bangunan dengan penuh kebanggaan. Mereka berlaku congkak pada orang lain, bahkan mereka seakan ingin menguasainya.
7. Etika bertanya.
Seorang muslim akan menanyakan sesuatu yang akan membawa manfaat bagi dunia dan akhiratnya. Ia tidak akan menanyakan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat. Bagi orang yang menghadiri sebuah majelis ilmu tahu ia melihat bahwa audiens (orang-orang yang hadir disitu) ingin mengetahui satu hal. Ternyata masalah tersebut belum ada yang menanyakan, maka sepatutnya ia menanyakan meskipun ia sudah mengetahuinya agar orang-orang yang hadir bisa mengambil manfaat dari jawaban yang diberikan.
Orang yang ditanya tentang suatu hal, dan ia tidak mengetahui jawabannya, hendaknya ia mengakui ketidaktahuannya agar tidak terjerumus pada hal-hal yang ia tidak mengetahuinya.
8. Metode tanya jawab.
Pendidikan modern pun mengakui bahwa metode tanya jawab adalah metode pendidikan yang relatif berhasil, karena memberikan tambahan semangat pada diri pendengar untuk mengetahui jawaban yang akan diberikan. Metode ini sering dipergunakan Rasulullah saw. dalam mendidik generasi Shahabat.
Hadits Arbain Pertama: Segala Perbuatan Ditentukan Niatnya

Hadits Arbain Pertama: Segala Perbuatan Ditentukan Niatnya

Hadits Arbain nomor 1 (pertama)
Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khaththab ra. Berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang diniatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Urgensi Hadits
Hadits ini sangat penting karena menjadi orientasi seluruh hukum dalam Islam. Ini bisa dilihat dari pendapat para ulama. Abu Dawud berkata: “Hadits ini setengah dari ajaran Islam. Karena agama bertumpu pada dua hal: sisi lahiriyah (amal perbuatan) dan sisi bathiniyah (niat).” Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata: “Hadits ini mencakup sepertiga ilmu, karena perbuatan manusia terkait dengan tiga hal: hati, lisan, dan anggota badan. Sedangkan niat dalam hati merupakan salah satu dari tiga hal tersebut.”
Mengingat urgensinya, maka banyak ulama mengawali berbagai buku dan karangannya dengan hadits ini. Imam Bukhari menempatkan hadits ini di awal kitab shahihnya. Imam Nawawi menempatkan hadits ini pada urutan pertama dalam tiga bukunya: Riyadhus Shalihin, Al-Adzkar, dan Al-Arba’in An-Nawawiyah. Ini dimaksudkan agar pembaca menyadari pentingnya niat, sehingga ia akan meluruskan niatnya hanya karena Allah, baik ketika menuntut ilmu atau melakukan perbuatan baik yang lain.
Urgensi hadits ini juga dipertegas oleh riwayat Bukhari yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah berkhutbah dengan hadits ini, begitu juga Umar ra.. Abu ‘Ubaid berkata: “Tidak ada hadits yang lebih luas dan padat maknanya dari hadits ini.”
Sababul Wurud (latar belakang hadits)
Imam ath-Thabrani meriwayatkan, dalam al-Mu’jam Al-Kabir, dengan sanad yang bisa dipercaya, bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Di antara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita, bernama Ummu Qais. Namun wanita itu menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka laki-laki itu ikut hijrah dan menikahinya. Karena itu kami memberinya julukan Muhajir Ummu Qais.”
Sa’id Ibnu Manshur meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya, dengan sanad sebagaimana syarat Bukhari dan Muslim, bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Siapa yang hijrah untuk mendapatkan kepentingan duniawi maka pahala yang didapat sebagaimana yang didapat oleh laki-laki yang hijrah untuk menikahi wanita yang bernama Ummu Qais, sehingga ia dijuluki Muhajir Ummu Qais.”
Kandungan Hadits
1. Syarat niat.
Ulama sepakat bahwa perbuatan seorang mukmin tidak akan diterima dan tidak akan mendapat pahala kecuali jika diiringi dengan niat. Dalam ibadah inti seperti shalat, haji, puasa, niat merupakan rukun. Karenanya ibadah-ibadah tersebut tidak sah kecuali diiringi dengan niat. Adapun dalam ibadah yang merupakan sarana dari ibadah inti, seperti wudlu dan mandi, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Madzab Hanafi menyebutkan bahwa niat merupakan penyempurna untuk mendapatkan pahala. Sedangkan madzab Syafi’i dan ulama lain menyebutkan bahwa niat merupakan syarat sahnya sebuah ibadah. Oleh karena itu ibadah-ibadah tersebut tidak sah kecuali diiringi dengan niat.
2. Waktu dan tempat niat.
Waktu niat adalah di awal ibadah. Seperti: takbiratul Ihram untuk shalat, dan ihram untuk haji, sedangkan puasa maka diperbolehkan sebelumnya karena untuk mengetahui masuknya waktu subuh secara tepat cukup sulit. Niat bertempat di dalam hati, jadi tidak diisyaratkan untuk diucapkan. Namun demikian, boleh saja diucapkan untuk membantu konsentrasi hati. Juga diisyaratkan menentukan secara tepat ibadah yang hendak dilakukan, jadi tidak cukup hanya dengan berniat untuk melakukan shalat ‘secara umum’, namun harus ditentukan, shalat dzuhur atau asyar atau lainnya.
3. Keharusan hijrah.
Hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam adalah wajib bagi seorang Muslim jika ia tidak bisa melakukan ajaran Islam dengan terang-terangan. Hukum ini berlaku secara umum dan tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Sedangkan hadits yang mengatakan: “Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah (Penaklukan kota Makkah).” Maka yang dimaksud adalah tidak ada hijrah dari Makkah setelah peristiwa Fathu Makkah karena Makkah sudah menjadi negeri Islam. Kata hijrah juga digunakan untuk hal-hal yang dilarang Allah. Orang yang menjauhi hal-hal yang dilarang Allah, disebut Muhajir.
4. Orang yang berniat melakukan kebaikan, namun karena satu atau hal lain –misalnya sakit parah ataupun meninggal dunia- sehingga ia tidak bisa melaksanakannya, maka ia tetap akan mendapatkan pahala. Al-Baidhawi berkata: “Amal ibadah tidak akan sah kecuali diiringi dengan niat. Karena, niat tanpa amal diberi pahala, sementara amal tanpa niat adalah sia-sia. Perumpamaan niat bagi amal, ibarat ruh bagi jasad. Jasad tidak akan berfungsi jika tanpa ruh, dan ruh tidak akan tampak jika terpisah dari jasad.
5. Hadits ini mendorong kita untuk ikhlas dalam segala perbuatan dan ibadah agar mendapat pahala di akhirat serta kemudahan dan kebahagiaan di dunia.
6. Semua perbuatan baik dan bermanfaat, jika diiringii niat yang ikhlas dan hanya mencari keridlaan Allah, maka perbuatan tersebut adalah ibadah.
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 101

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 101

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 101
“Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-An’aam: 101)
Badii’us samaawaati wal ardli (“Dia pencipta langit dan bumi.”) Maksudnya, yang mengadakan dan menciptakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Mujahid dan as-Suddi. Dan dari pengertian itu pula diambil istilah “bid’ah”, karena hal itu belum pernah ada sebelumnya.
Annaa yakuunu laHuu waladun (“Bagaimana Dia mempunyai anak.”) Artinya, bagaimana mungkin Allah mempunyai anak padahal Allah tidak mempunyai isteri. Karena anak itu terlahir hanya karena adanya dua pasang yang sepadan, sedangkan Allah tidak ada satu pun makhluk-Nya yang dapat menyamai dan menyerupai-Nya, karena Dia adalah Pencipta segala sesuatu, sehingga tidak ada isteri dan anak bagi-Nya.
Wa khalaqa kulli syai-iw wa Huwa bikulli syai-in ‘aliim (“Dia menciptakan segala sesuatu, dan
Dia mengetahui segala sesuatu.”) Allah menjelaskan bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan Allah mengetahui segala sesuatu. Lalu bagaimana mungkin Allah memiliki isteri yang sesuai dengan-Nya dari kalangan makhluk-Nya, padahal tidak ada satu pun makhluk-Nya yang setara dengan-Nya, lalu bagaimana Allah mempunyai anak? Mahatinggi Allah dari semuanya itu setinggi-tingginya.
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 100

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 100

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 100“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin jin itu, dan mereka berbohong (dengan mengatakan): ‘Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan,’ tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.” (QS. al-An’aam: 100)
Ini merupakan bantahan terhadap orang-orang musyrik yang beribadah kepada ilah-ilah selain Allah. Mereka juga menyekutukan-Nya dalam menjalankan ibadah, yaitu mereka beribadah kepada jin dan menjadikannya sebagai sekutu bagi-Nya dalam beribadah, Mahatinggi Allah dari kemusyrikan dan kekafiran mereka. Jika dikatakan: “Bagaimana bisa jin itu diibadahi, padahal mereka itu beribadah kepada berhala?” Jawabannya adalah, bahwa mereka itu tidak beribadah kepada mereka (patung atau berhala), melainkan sebagai
wujud ketaatan mereka kepada jin, yang telah menyuruh mereka melakukan hal itu.
Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Patutkah kamu mengambil dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain dari-Ku.” (QS. Al-Kahfi: 50). Dan pada hari Kiamat kelak, para Malaikat berkata yang artinya: “Maha suci Engkau, Engkaulah pelindung Kami bukan mereka, bahkan mereka telah menyembah jin dan kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.” (Saba’: 41)
Oleh karena itu Allah berfirman: wa ja’alullaaHi syurakaa-al jinna wa khalaqaHum (“Dan mereka [orang-orang musyrik] menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allahlah yang menciptakan jin-jin itu.”) Maksudnya, padahal Allahlah yang telah menciptakan mereka, Dialah Yang Mahapencipta yang tiada sekutu bagi-Nya, lalu bagaimana bisa selain diri-Nya diibadahi bersama dengan ibadah kepada-Nya.
Sebagaimana ucapan Ibrahim yang artinya: “Apakah kamu beribadah kepada patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaaffaat: 95-96). Makna ayat tersebut adalah bahwa Allah berdiri sendiri dalam menciptakan semua makhluk. Oleh karena itu Dia harus diesakan dalam ibadah, hanya Dia saja, tiada sekutu bagi-Nya.
Firman-Nya: wa kharaquu laHuu baniina wa banaatim bighairi ‘ilmi (“Dan mereka membuat kebohongan [dengan mengatakan] ‘Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan, ‘tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan.”)
Dengan (ayat) ini, Allah mengingatkan kesesatan orang-orang yang sesat yang menyatakan, bahwa Allah mempunyai anak, sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan orang-orang Yahudi terhadap ‘Uzair, dan orang-orang Nasrani terhadap `Isa, serta anggapan di kalangan orang-orang musyrik Arab bahwa Malaikat itu anak perempuan Allah. Mahatinggi Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang dhalim dengan ketinggian yang setinggi-tingginya.
Makna firman-Nya: “wa kharaquu” yaitu, mereka mengada-ada dan berdusta, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama Salaf. Jadi penafsirannya adalah, bahwa mereka telah menjadikan jin sebagai sekutu Allah dalam ibadah mereka, padahal Allah Ta’ala hanya sendiri dalam menciptakan mereka tanpa adanya sekutu, pembantu, dan pendukung.
wa kharaquu laHuu baniina wa banaatim bighairi ‘ilmi (“Dan mereka membuat kebohongan [dengan mengatakan] ‘Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan, ‘tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan.”) Yaitu, tanpa adanya (ilmu) pengetahuan terhadap hakikat apa yang mereka katakan, tetapi mereka katakana itu karena kejahilan (kebodohan) mereka akan Allah Ta’ala serta keagungan-Nya. Sesungguhnya tidak layak bagi Rabb sebagai Ilah untuk memiliki anak, laki-laki maupun perempuan, dan tidak juga isteri, dan tidak juga sekutu yang bersekutu dengan-Nya dalam penciptaan.
Oleh karena itu Allah berfirman: subhaanaHuu wa ta’aalaa ‘ammaa yashifuun (“Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.”) Maksudnya, Mahasuci dan Mahaagung dari disifati dengan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang bodoh lagi sesat, yaitu sifat kepemilikan anak, tandingan yang setara dan sekutu.
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 98-99

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 98-99

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 98-99“Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 6:98) Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman. (QS. 6:99)” (al-An’aam: 98-99)
Allah berfirman: wa Huwal ladzii ansya-akum min nafsiw waahidatin (“Dan Dialah yang telah menciptakan kamu dari seorang diri.”) Yakni Adam as.
Firman-Nya: fa mustaqarruw wa mustauda’ (“Maka [bagimu] ada tempat tetap dan tempat simpanan.”) para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Dari Ibnu Mas’ud, ibnu ‘Abbas, Abu ‘Abdir Rahman as-Sulami, Qais bin Abi Hazim, Muhahid, ‘Atha’, Ibrahim an-Nakha’i, adh-Dhahhak, Qatadah, as-Suddi, ‘Atha’ al-Khurasani dan juga ulama lainnya mengatakan, “Mustaqarruw” yaitu di dalam rahim.” Mereka atau mayoritas dari mereka mengatakan: wal mustauda’ yaitu di dalam tulang sulbi.” Sedangkan Ibnu ‘Abbas dan sekelompok mufasirin mengatakan sebaliknya. Tetapi pendapat yang pertama adalah lebih jelas. wallahu a’lam.
Firman Allah: qad fash-shalnaa aayaatil liqaumiy yafqaHuun (“Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.”) artinya mereka memahami dan menyadari kalamullah beserta maknanya.
Firman-Nya: wa Huwal ladzii anzala minas samaa-i maa-an (“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit.”) maksudnya dengan kadarnya tertentu yang menjadi berkah dan rizki bagi makhluk, serta sebagai rahmat Allah bagi seluruh makhluk-Nya.
Fa akhraja biHii nabaata kulli syai-in fa akhrajnaa minHu khadliran (“Lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau.”) Yaitu, tanaman-tanaman dan pepohonan yang hijau, dan setelah itu kami menciptakan di dalamnya biji-bijian dan buah-buahan.
Oleh karena itu Allah berfirman: nukhriju minHu habbam mutaraakiban (“Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang tersusun.”) maksudnya tersusun antara satu dengan yang lainnya, seperti bulir [misalnya pada padi], dan yang lainnya.
Wa minan nakhli min thal’iHaa qinwaanun (“Dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangaki yang menjulai.”) kata “qinwaanun” merupakan jamak dari kata “qinwun” yang berarti tandan kurma.
Daaniyatun (“yang menjulai”) maksudnya mudah dipetik bagi yang memetiknya.
Sebagaimana yang dikatakan `Ali bin Abi Thalhah al-Walibi, dari Ibnu `Abbas: qinwaanun daaniyatun; yang dimaksud dengannya adalah pohon kurma yang pendek yang tandannya menyentuh ke tanah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir)
Ia (Ibnu Jarir) mengatakan: “qinwaanun” merupakan jamak dari kata “qinwun” sebagaimana kata “sinwaanun” adalah jamak dari kata “sinwun”.
Firman-Nya lebih lanjut: wa jannaatim min a’naab (“Dan kebun-kebun anggur.”) Maksudnya, Kami juga mengeluarkan darinya kebun-kebun anggur. Kedua jenis buah itu (anggur dan kurma) merupakan jenis yang paling berharga bagi penduduk Hijaz, bahkan mungkin merupakan dua jenis buah terbaik di dunia. Sebagaimana Allah telah memberikan anugerah kepada hamba-hamba-Nya berupa kedua macam buah tersebut dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rizki yang baik.” (QS. An-Nahl: 67). Hal itu terjadi sebelum pengharaman khamr.
Firman-Nya lebih lanjut: waz zaituuna war rummaana musytabiHan wa ghaira mutasyaabiHin (“Dan [Kami keluarkan Pula] zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa.”) Qatadah dan ulama lainnya mengatakan: “Yaitu kesamaan dalam daun dan bentuk, di mana masing-masing saling berdekatan, tetapi mempunyai perbedaan pada buahnya, balk bentuk, rasa, maupun sifatnya.”
Firman-Nya: undhuruu ilaa tsamariHii idzaa atsmara wa yan’iHi (“Perhatikanlah buahnya pada waktu pohonnya berbuah, dan [perhatikan pulalah] kematangannya.”) Al-Barra’ bin `Azib, Ibnu `Abbas, adh-Dhahhak, `Atha’ al-Khurasani, as-Suddi, Qatadah, dan ulama lainnya mengatakan: “Maksudnya, pikirkanlah kekuasaan Penciptanya, dari tidak ada menjadi ada, setelah sebelumnya berupa sebuah kayu (pohon), kemudian menjadi anggur dan kurma dan lain sebagainya, dari berbagai ciptaan Allah berupa berbagai warna, bentuk, rasa, dan aroma.”
Oleh karena itu, di sini Allah berfirman: inna fii dzaalikum (“Sesungguhnya pada yang demikian itu,”) hai sekalian umat manusia. La aayaatin (“ada tanda-tanda”) yaitu bukti-bukti kesempurnaan kekuasaan Penciptanya, hikmah, dan rahmat-Nya. Liqaumiy yu’minuun (“Bagi orangorang yang beriman.”) Maksudnya, mereka yang membenarkan-Nya dan mengikuti para Rasul-Nya.
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 95-97

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 95-97

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 95-97“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling. (QS. 6:95) Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui. (QS. 6:96) Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 6:97)” (al-An’aam: 95-97)
Allah memberitahukan, bahwa Dia menumbuhkan biji dan benih tumbuh-tumbuhan. Artinya, Allah membelahnya di dalam tanah (yang lembab), kemudian dari biji-bijian tersebut tumbuhlah berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, sedangkan dari benih-benih itu (tumbuhlah) buah-buahan dengan berbagai macam warna, bentuk dan rasa yang berbeda.
Oleh karena itu firman Allah: faaliqul habbi wan nawaa (“Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan.”) Ditafsirkan dengan firman-Nya: yukhrijul hayya minal mayyiti wa mukhrijul mayyiti minal hayyi (“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.”) Maksudnya, Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang hidup dari biji dan benih, yang merupakan benda mati.
Sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka dari padanya mereka makan. [sampai dengan firman-Nya-] Dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yaasiin: 33-36)
Firman-Nya: wa mukhrijul mayyiti minal hayyi (“Dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.”) Penggalan ayat ini ber’athaf kepada: faaliqul habbi wan nawaa (“Menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan.”) Kemudian Allah menafsirkannya dan setelah di’athafkan padanya firman-Nya: wa mukhrijul mayyiti minal hayyi (“Dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.”)
Para ahli tafsir mengungkapkan tentang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan demikian pula sebaliknya, dengan berbagai macam ungkapan yang semuanya saling berdekatan makna. Ada di antara mereka yang mengatkan: “Yaitu mengeluarkan ayam dari telur, atau sebaliknya.” Dan ada juga yang mengatakan: “Lahirnya anak shaleh dari orang yang jahat, dan sebaliknya.”
Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan lainnya yang tercakup dalam makna ayat tersebut.
Setelah itu Allah berfirman: dzaalikumullaaH (“[Yang memiliki sifat-sifat] demikian adalah Allah.”) Maksudnya, yang melakukan semuanya itu tidak lain adalah Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Fa annaa tu’fakuun (“Maka mengapa kamu masih berpaling?”) Maksudnya, mengapa kalian berpaling dari kebenaran seraya menjauhinya menuju kepada yang bathil, sehingga kalian beribadah kepada ilah-ilah lain selain Allah.
Firman-Nya lebih lanjut: faaliqul ishbaaha wa ja’alal laila sakanan (“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat.”) Maksudnya, Allahlah yang menciptakan terang dan gelap. Artinya, Allahlah yang menggantikan kegelapan malam menjadi terbitnya waktu pagi lalu menyinari semua yang ada, dan ufuk pun bersinar terang, hingga lenyaplah kegelapan, malam pun pergi dengan kegelapannya, lalu datang siang dengan cahayanya yang terang.
Allah menjelaskan kekuasaan-Nya dalam menciptakan segala sesuatu yang saling bertentangan dan berbeda, yang menunjukkan kesempurnaan keagungan-Nya dan kebesaran kekuasaan-Nya. Allah menyebutkan bahwa Dialah yang menyingsingkan pagi atau sebaliknya, yaitu firman-Nya: waja’al laila sakanan (“Dan menjadikan malam untuk beristirahat.”) Maksudnya, hening dan gelap supaya segala sesuatu dapat merasakan ketenangan.
Shuhaib ar-Rumi pernah berkata kepada isterinya yang murung karena melihat suaminya sering tidak tidur malam: “Sesungguhnya Allah menjadikan malam untuk beristirahat kecuali untuk Shuhaib, karena jika ia mengingat Surga, maka muncullah kerinduannya yang mendalam, dan jika ia mengingat Neraka, maka hilanglah rasa kantuknya.”
Firman-Nya lebih lanjut: wasy-syamsa wal qamara husbaanan (“Dan [menjadikan] matahari dan bulan untuk perhitungan.”) Artinya, keduanya berjalan menurut perhitungan yang sempurna, terukur, tidak berubah, dan beraturan. Masing-masing dari keduanya memiliki orbit yang dilaluinya pada musim panas dan musim dingin, sehingga perjalanan itu menghasilkan pergantian malam dan Siang berikut panjang dan pendeknya.
Firman-Nya: dzaalika taqdiirul ‘aziizil ‘aliim (“Itulah ketentuan Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui.”) Maksudnya, segala sesuatu itu terjadi melalui ketetapan Allah yang Mahaperkasa yang tiada sesuatu pun dapat menentang dan menolaknya, yang Mahamengetahui segala sesuatu, sehingga tidak ada sebesar atom pun balk di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.
Seringkali dalam menyebutkan penciptaan siang dan malam, matahari dan bulan, Allah mengakhirinya dengan kalimat “Mahaperkasa dan Mahamengetahui,” sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tersebut.
Firman Allah: wa Huwal ladzii ja’ala lakumun nujuuma litaHtaduu biHaa fii dhulumaatil barri wal bahri (“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut.”) Sebagian ulama salaf mengatakan: “Barangsiapa yang meyakini bahwa bintang-bintang itu mempunyai fungsi selain dari tiga hal tersebut, maka ia telah melakukan kesalahan dan berbuat dusta terhadap Allah swt. karena Allah telah menjadikannya sebagai hiasan langit, sebagai alat melempari syaithan, dan sebagai petunjuk bagi manusia di kegelapan daratan dan lautan.”
Firman-Nya: qad fash-shalnaa aayaati (“Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran [Kami].”) Maksudnya Kami telah menjelaskan dan menerangkannya; liqaumiy ya’lamuun (“Kepada orang-orang yang mengetahui.”) maksudnya orang-orang yang berakal, yang mengetahui kebenaran dan menghindari semua kebathilan.
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 93-94

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 93-94

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 93-94“93. dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya”, Padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: “Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.” Alangkah dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang Para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu” di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya. 94. dan Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa’at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).” (al-An’am: 93-94)
Allah berfirman: wa man adhlamu mim maniftaraa ‘alallaaHi kadziban (“Dan siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah.”)
Maksudnya, tidak ada seorang pun yang lebih dhalim dari orang yang mengada-ada kedustaan terhadap Allah, di mana ia menjadikan bagi-Nya sekutu, anak, atau mengaku bahwa Allah telah mengutus dirinya kepada umat manusia, padahal Allah lama sekali tidak pernah mengutusnya.
Oleh karena itu Allah berfirman: au qaala uuhiya ilayya wa lam yuuhaa ilaiHi sya-un (“Atau yang berkata: ‘Telah dwahyukan kepadaku,’ padahal tidak diwahyukan sesuatu pun kepadanya.”) `Ikrimah dan Qatadah mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan Musailamah al-Kadzdzab.”
Firman Nya: wa man qaala sa-unzilu mitsla maa anzalallaaHu (“Dan orang yang berkata: ‘Aku akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.’”) Dan barangsiapa mengaku bahwa dirinya mampu menandingi wahyu yang dibawa dari sisi Allah dengan perkataan yang diada-adakannya. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata: `Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat seperti ini). Kalau kami menghendaki, niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini.’” (QS. Al-Anfaal: 31)
Allah berfirman: walau taraa idzidh dhaalimuuna fii ghamaraatil mauti (“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang dhalim [berada] dalam tekanan-tekanan sakaratul maut.”) Yakni berada dalam sakaratul maut dan kesulitan-kesulitannya.
Wal malaa-ikatu baasithuu aidiiHim (“Sedang malaikat membentangkan tangannya.”) Maksudnya yaitu memukul.
Adh-Dhahhak dan Abu Shalih mengemukakan: “Para Malaikat membentangkan tangan mereka, maksudnya yaitu mengadzab.”
Yang demikian itu, bahwa jika orang kafir mengalami naza’ (sekarat), maka Malaikat akan membawakan kepadanya berita gembira berupa adzab, belenggu, rantai, Neraka Jahim, air panas yang bergolak, dan kemurkaan Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang, sehingga nyawanya bergejolak dalam jasadnya dan enggan keluar darinya, kemudian Malaikat memukulnya sehingga arwah mereka keluar dari jasad mereka seraya para Malaikat berseru kepada mereka:
Akhrijuu anfusakumul yauma tujzauna ‘azaabul Huuni bimaa kuntum taquuluuna ‘alallaaHi ghairal haqqi (“’Keluarkanlah nyawamu!’ Pada hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah [perkataan] yang tidak benar.’”) Maksudnya, pada hari ini, kalian benar-benar dihinakan sehina-hinanya, sebagaimana dulu kalian telah mendustakan Allah dan enggan mengikuti ayat-ayat-Nya serta angkuh tunduk patuh kepada para Rasul-Nya.
Telah banyak hadits mutawatir yang disebutkan berkenaan dengan saat naza’ yang dialami orang mukmin dan orang kafir, yang semuanya itu ada pada pembahasan firman Allah yang artinya:
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (QS. Ibrahim: 27)
Firman-Nya: wa laqad ji’tumuunaa furaadaa kamaa khalaqnaakum awwala marratin (“Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri, sebagaimana kamu Kami ciptakan
pada mulanya.”) Maksudnya, hal tersebut dikatakan kepada mereka pada hari mereka dikembalikan. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya:
“Dan mereka akan dibawa ke hadapan Rabbmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakanmu pada kali yang pertama.” (QS. Al-Kahfi: 48)
Maksudnya, sebagaimana Kami telah menciptakan kalian pertama kali, maka Kami mengembalikan kalian seperti itu lagi, dan kalian telah mengingkari hal itu akan terjadi dan bahkan menganggapnya mustahil, maka inilah hari kebangkitan itu.
Firman Allah: wa taraktum maa khawwalnaa waraa-a dhuHuurikum (“Dan kamu tinggalkan di belakangmu [di dunia] apa yang telah Kami karuniakan kepadamu.”) Yakni, berbagai kenikmatan dan harta benda yang telah dinikmati selama di dunia (kalian tinggalkan,-Ed-) di belakang kalian.
Dalam sebuah hadits Shahih disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
“Anak Adam berkata: `Hartaku… hartaku…’ Adakah harta yang kau miliki, melainkan apa yang telah engkau makan maka engkau telah habiskan, atau apa yang telah engkau pakai engkau telah jadikan usang, atau apa yang engkau telah sedekahkan maka engkau telah kekalkan, dan yang selain itu akan lenyap dan ditinggalkan untuk orang lain.”
Firman-Nya lebih lanjut: wa maa naraa ma’akum syufa’aa-akumul ladziina za’amtum annaHum fiiHi syurakaa-u (“Dan Kami tidak melihat beserta kamu pemberi syafa’at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Allah di antara kamu.”) (Yang demikian itu merupakan) hinaan dan celaan atas apa yang mereka jadikan di dunia ini sebagai sekutu berupa patung dan berhala, dengan beranggapan bahwa semua itu dapat memberikan manfaat dalam kehidupan dan pada hari kebangkitan mereka. Maka pada hari Kiamat kelak, terputuslah semua hubungan di antara mereka, hilanglah kesesatan dan lenyaplah apa yang dahulu mereka ada-adakan. Dan dikatakan kepada mereka yang artinya:
“Di manakah berhala-berhala yang dulu kamu selalu beribadah [kepadanya] selain Allah? Dapatkah mereka menolongmu atau menolong diri sendiri ?” (asy-Syu’araa’: 92-93)
Oleh karena itu, di sini Allah berfirman: wa maa naraa ma’akum syufa’aa-akumul ladziina za’amtum annaHum fiiHi syurakaa-u (“Dan Kami tidak melihat beserta kamu pemberi syafa’at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Allah di antara kamu.”)
Yaitu penyekutuan dalam ibadah kepada mereka, dan kalian membagi ibadah yang sebenarnya kepada mereka [berhala-berhala].
Selanjutnya Allah berfirman: laqad taqaththa’naa bainakum (“Sungguh telah terputuslah [pertalian] di antara kamu.”) ada yang membaca dengan rafa’ [harakat dlamah] yakni putusnya persatuan dan dibaca dengan nasab, yakni telah terputus semua pertalian di antara kalian baik itu sebab-sebab, hubungan dan sarana.
Wa dlalla ‘anHum (“Dan telah lenyap dari kamu”) yakni telah pergi dari kalian; maa kuntum taj’umuun (“apa yang dahulu kamu anggap [sebagai sekutu Allah].”) Yakni harapan yang ditujukan kepada berhala dan para sekutu.

Kategori

Kategori